HomeEBOOKS AM*EBOOKS LS*EBOOKS ED*EBOOKS LG*EBOOKS GN**ARTICLES**JADWAL KULIAH.2011/2012**VIDEO WordLinx - Get Paid To Click free counters

Minggu, 28 Agustus 2011

INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA

1. Pendahuluan
Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Adanya kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa.
Selain kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam Sukardi 1999:4) adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi.
2. Interferensi dan Integrasi
2.1 Interferensi
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
1. kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
4. interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
1. bahasa sumber atau bahasa donor
2. bahasa penyerap atau resipien
3. unsur serapan atau importasi
Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
Interferensi Semantik
Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi,
1. Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
2. Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu bahasa. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
2.1.1 Jenis Interferensi
Interferensi merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Hal ini merupakan suatu masalah yang menarik perhatian para ahli bahasa. Mereka memberikan pengamatan dari sudut pandang yang berbeda beda. Dari pengamatan para ahli tersebut timbul bermacam-macam interferensi.
Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu
(1) Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
(2) Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.
(3) Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
(4) Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
(5) Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:
(1) Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
(2) Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.
(3) Interferensi ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4) Interferensi ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
(2) Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
(3) Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
(4) Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A
Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan (2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur bahasa B.
Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain
1. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
2. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
3. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
4. interferensi pada kosakata (leksikon)
5. interferensi pada bidang tata makna (semantik)
Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni
(1) Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.
(2) Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.
(3) Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu
(1) Interferensi Bunyi (phonic interference)
Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.
(2) Interferensi tata bahasa (grammatical interference)
Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.
(3) Interferensi kosakata (lexical interference)
Interferensi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.
(4) Interferensi tata makna (semantic interference)
Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian makna.
Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu
(1) mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
(2) adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
(3) penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,
(4) kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi dalam bahasa pertama.
2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
7). Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
2.2 Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.
3. Penutup
Meskipun berbeda, antara interferensi dan integrasi sebenarnya memiliki sisi yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan gejala bahasa yang terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa. Integrasi dan interferensi memiliki persamaan -persamaan antara lain bahwa baik gejala interferensi maupun integrasi bisa terjadi pada keempat tataran kebahasaan yaitu fonologi, gramatika, kosakata dan semantik.

Dikutip dari pusatbahasaalazhar
Oleh: Puspa Ruriana, Iqbal Nurul A, Sri Pamungkas

Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya.
Bawa, I Wayan. 1981. “Pemakaian Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Nuril dkk. 1981. Interferensi Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hayi, Abdul dkk. 1985. Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta: Gramedia.
Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta.

Integrasi

DGB Menurut Mackey (1995:168) Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut.Penerimaan bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus integrasi memerlukan waktu yang relative panjang.Proses penerimaan unsur bahasa lain, khususnya unsur kosa kata dalam bahasa Indonesia pada awalnya dilakukan secara audial.Artinya mula-mula penutur Indonesia mendengarkan butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya lalu mencoba menggunakannya.Apa yang terdengar oleh telinga, itulah yang diujarkan lalu dituliskan.Oleh karena itu, kosa kata yang diterima secara audial seringkali menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosa kata aslinya.
Pada waktu pemerintah mengeluarkan EYD, penerimaan dan penyerapan bahasa lain atau bahasa asing dilakukan secara visual.Artinya penyerapan dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya, kemudian bentuk itu disesuaikan dengan aturan yang terdapat pada kedua dokumen kebahasaan tersebut.
Mackey (1968) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut.
Pertanyaan :
1. Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan bahasa kita yaitu Bahasa Indonesia yakni dengan cara menerapkan pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah, di Siaran Televisi, seminar bahasa Indonesia dan lain-lain.
Campur Kode dan faktor-faktor tentu.
Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode.Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar sehingga seringkali sukar dibedakan.Kesamaan yang ada antara alih kode dengan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
Menurut Nababan (1991:32) Ciri-ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal.Dalam situasi berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Thelander (1995:152) menjelaskan perbedaan antara alih kode dan campur kode.Menurutnya, bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain maka peristiwa yang terjadi alih kode.Tetapi, jika dalam suatu peristiwa tutur klausa-klausa dan frase-frase yang terdiri dari klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri maka peritiwa yang terjadi adalah campur kode.Dengan kata lain, Jika seseorang menggunakan suatu kata/frase dari suatu bahasa, orang tersebut telah melakukan campur kode.Tetapi, apabila seseorang menggunakan satu klausa jelas-jelas memiliki struktur suatu bahasa dan klausa itu disusun menurut struktur bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Campur Kode umumnya mengacu pada pergantian antara varietas, atau kode, dalam klausa atau frase. Selanjutnya percampuran kode antara Rapa Nui and Spanish dapat dimasukan dalam sintaksis yang kompleksdengan menggunakan noun or adverb as pada no 2, 5 and 6 dalam contoh 1. Makihara juga memberi contoh pembicara campuran nouns and deter¬miners or verbs and tense dari perbedaan bahasa misalnya:
Wife: ‘I he¯ ia te korohu’a nei?
1 W: Where’s the old man?
Husband: Me está diciendo korohu’a otra vez.
2 H: You (formal) are calling me old man
again.
¿A quién está diciendo korohu’a mi amor?
Who are you (formal) calling old man my dear?
All: [laughter]
3 All: [laughter]
Wife:No, a tí no, a mi papa.
4 W: No, not to you (informal), to my dad.
Husband: Acuérdese que yo soy joven ’a¯
5 H: Remember (formal) that I am still young.
Friend: Cómo será ia, ahani e ´apa pa´ari ro ’a¯ ,
6 F: What will it be, (he) is barely
ko ture mai ’a¯ .
half-adult but is already talking back.
All: [laughter]
7 All: [laughter]
Example 1. Mixed Rapa Nui interactional code being used for joking amon intimates. Italics= Rapa Nui, underline = Spanish. (Source, Makihara 2004: 532; slightly modified.)
3. Terjemahan,
-Pinjaman bahasa/borrowing dan integrasi bahasa



























DAFTAR PUSTAKA

Apple,Rene and Pieter.(2005) Language Contact and
Bilingualism.Amsterdam.Amsterdam University Press.
Aslinda, Dra.M.Hum. , Leni Syahyahya,Dra.M.Hum. (2007)Pengantar
Sosiolinguistik.Bandung.Refika Aditama.
Hair, Abdul & Leony Agustina.(2004) Sosiolingustik Perkenalan Awal.Jakarta:
Rineka Cipta.
Meyerhoff, Miriam,(2006) Introducing sosiolinguistics.
Rouledge.London.Newyork.
Matras, Yaron. (2009).Language Contact.Cambridge University Press.Newyork.
Siemund, Peter.(2008). Language Contact and Contact Language.University of
Harburg.Noemi Kintana.
Thomson, Sarah.G.(2001). Language Contact.Edinburgh University Press.Great
Britain.
Trudgill, Peter (2000).Sosiolilinguistics: An Introduction to Languge and
Society: Newyork: Penguin books.
Wardhaugh, Ronald.2009. An Introduction to sociolinguistics.Newyork: Basil
Blackwell Inc.


INTERFERENSI

Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weireich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual.
Menurut Alwasilah (1985:132) mengatakan interferensi berarti adanya saling pengaruh antar bahasa.Pengaruh itu dalam bentuk yang paling sederhana berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain.Rumusan yang hampir sama dinyatakan oleh Lado dan Sunyono (1979:13) pengaruh antar bahasa itu dapat juga berupa pengaruh kebiasaan dari bahasa pertama (ibu) yang sudah dikuasai penutur ke dalam bahasa kedua.
a. Jenis-jenis Interferensi
Menurut Weinreich (1953:39) mengidentifikasikan empat jenis interferensi sebagai berikut:
1. Pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain.
2. Perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan.
3. Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama.
4. Pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama.
Menurut Suwito (1983:55) menjelaskan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, tata kata dan tata makna.Disamping itu Weinreich (1953:14-47) juga membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga bagian, yaitu interferensi fonologi, interferensi leksikal, dan interferensi gramatikal.
a. Interferensi dalam Bidang Fonologi
Weireich menyebutkan adanya interferensi dalam bidang bunyi, ternyata dalam interferensi bahasa Minangkabau terhadap bahasa Indonesia ditemukan interferensi dalam bidang fonem dan dalam bidang bunyi atau fonetik.Akan tetapi, tampaknya interferensi pada beberapa orang saja dan tidak bersifat umum.Misalnya, beberapa orang yang berasal dari beberapa daerah Payakumbuh dan Solok memindahkan bunyi [d] dan [t] ke dalam percakapan bahasa Indonesia.
Contoh:

BMK dialek PK,S
BI
[dari tadi]
[dituka]
[babedo] --
--
-- [dari tadi]
[ditukar]
[berbeda] ‘dari tadi’
‘ditukar’
‘berbeda’

Setelah mengadakan pengklasifikasian data maka dapat diformulasikan bagaimana proses interferensi fonologi dari bahasa Minangkabau terhadap bahasa Indonesia.
a. Pemindahan fonem konsonan bahasa Minangkabau

b. Pemindahan vokal bahasa Minangkabau


Beberapa proses fonologi bahasa Minangkabau dalam peristiwa tutur bahasa Indonesia dapat kami rumuskan sebagai berikut:
a. Penambahan fonem konsonan

b. Penghilangan fonem konsonan

c. Perubahan fonem konsonan

d. Penghilangan fonem vokal

e. Perubahan fonem vokal

B. Interferensi dalam bidang Leksikal
Interferensi dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur memasukkan leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya.Dalam hal interferensi leksikal, kami menganalisisnya berdasarkan pembagian kelas kata.Setelah mengklasifikasi data, kami hanya menemukan lima kelas kata yang mengalami interferensi leksikal, yaitu kelas verba, kelas adjektiva, kelas nomina, kelas pronominal, dan kelas kata numeralia.
Contoh :
a. Kelas Kata Verba

b. Kelas Kata Adjektiva

c. Kelas kata Nomina

d. Kelas Kata Pronomina

e. Kelas Kata Numeralia

C. Interferensi dalam Bidang Gramatikal
Interferensi dalam bidang Gramatikal terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasikan orfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa pertama dan menggunakannya dalam tuturan bahasa kedua dan demikian sebaliknya.
Menurut Weinreich (1953:1) bahwa gejala interferensi itu berupa fonik, grammatical (morfologi dan sintaksis) dan leksikal.Jadi interferensi yang terjadi pada bidang morfologi dan sintaksis dimasukkan ke dalam bidang gramatikal.
1. Interferensi Morfologi
Interferensi dalam bidang morfologi dapat terjadi antara lain pada penggunaan unsur-unsur pembentukan kata, pola proses morfologi dan proses penanggalan afiks.
A. Afiksasi
Proses pembentukan kata pada bagian aksasi ini, dalam BMK ada afiks yang melekat pada kata dasar da nada afiks yang melekat pada kata ulang.Bentuk-Bentuk seperti ini tampaknya tetap dipakao dalam peristiwa tutur bahasa Indonesia orang Minangkabau.
1) Awalan
a) Awalan /ba-/
Misalnya: [Ini pasahabatan orang basalam Pa]
‘Iko kawan urang basalam Pak’
‘Ini persahabatan Pak orang bersalam’
Awalan /ba-/ dalam BMK dapat disejajarkan artinya dengan awalan /ber-/ dalam bahasa Indonesia.
b) Awalan /ma-/
c) Awalan /man-/
d) Awalan /mang-/
e) Awalan /ta;/
f) Awalan /di-/
g) Awalan /pa-/
h) Awalan /sa-/
2) Akhiran
a) Akhiran /-nya/
b) Akhiran /-kan/
c) Akhiran /-an/
3) Imbuhan gabungan
a) Imbuhan gabungan /di-nya/
b) Imbuhan gabungan /mang-ing/
c) Imbuhan gabungan /mang-kan/
d) Imbuhan gabungan /man-nyo/
e) Imbuhan gabungan /kadi-kan/
f) Imbuhan gabungan /ka-an/
B) Perulangan
a. Perulangan seluruhnya
b. Perulangan dengan mendapat awalan
c) Perulangan dengan mendapat awalan dan akhiran
d) Pemajemukan
2. Interferensi bidang Sintaksis
Interferensi bidang sintaksis antara lain meliputi penggunaan kata tugas bahasa pertama pada bahasa kedua atau sebaliknya, pada pola konstruksi frase.Interferensi sintaksis dapat dilihat dalam uraian contoh berikut:
a. Dia tidak ikut doh dengan saya
Inyo indak paid oh jo ombo (BM)
‘Dia tidak ikut dengan saya’
BY CARNY

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

Alih Kode
Menurut Appel (1976:79) mendefiniskan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.” Sedangkan Hymes (1995:142) mengatakan alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa melainkan juga terjadi antara ragam-ragam bahasa dan gaya bahasa yang terdapat dalam satu bahasa.Dengan demikian, alih kode itu merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa serta antarragam dalam satu bahasa.
Disamping perubahan situasi, alih kode ini terjadi juga karena beberapa factor.Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode antara lain:
a. Siapa yang berbicara
b. Dengan bahasa apa
c. Kepada siapa
d. Kapan
e. Dengan tujuan apa
Dalam kepustakaan linguistic, secara umum penyebab terjadinya alih kode ialah:
a. Pembicara atau penutur
b. Pendengar/lawan tutur
c. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
d. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
e. Perubahan topic pembicaraan.
Campur Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode.Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar sehingga seringkali sukar dibedakan.Kesamaan yang ada antara alih kode dengan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
Menurut Nababan (1991:32) Ciri-ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal.Dalam situasi berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Thelander (1995:152) menjelaskan perbedaan antara alih kode dan campur kode.Menurutnya, bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain maka peristiwa yang terjadi alih kode.Tetapi, jika dalam suatu peristiwa tutur klausa-klausa dan frase-frase yang terdiri dari klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri maka peritiwa yang terjadi adalah campur kode.Dengan kata lain, Jika seseorang menggunakan suatu kata/frase dari suatu bahasa, orang tersebut telah melakukan campur kode.Tetapi, apabila seseorang menggunakan satu klausa jelas-jelas memiliki struktur suatu bahasa dan klausa itu disusun menurut struktur bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Campur Kode umumnya mengacu pada pergantian antara varietas, atau kode, dalam klausa atau frase. Selanjutnya percampuran kode antara Rapa Nui and Spanish dapat dimasukan dalam sintaksis yang kompleksdengan menggunakan noun or adverb as pada no 2, 5 and 6 dalam contoh 1. Makihara juga memberi contoh pembicara campuran nouns and deter¬miners or verbs and tense dari perbedaan bahasa misalnya:
Wife: ‘I he¯ ia te korohu’a nei?
1 W: Where’s the old man?
Husband: Me está diciendo korohu’a otra vez.
2 H: You (formal) are calling me old man
again.
¿A quién está diciendo korohu’a mi amor?
Who are you (formal) calling old man my dear?
All: [laughter]
3 All: [laughter]
Wife: No, a tí no, a mi papa.
4 W: No, not to you (informal), to my dad.
Husband: Acuérdese que yo soy joven ’a¯
5 H: Remember (formal) that I am still young.
Friend: Cómo será ia, ahani e ´apa pa´ari ro ’a¯ ,
6 F: What will it be, (he) is barely
ko ture mai ’a¯ .
half-adult but is already talking back.
All: [laughter]
7 All: [laughter]
Example 1. Mixed Rapa Nui interactional code being used for joking amon intimates. Italics= Rapa Nui, underline = Spanish. (Source, Makihara 2004: 532; slightly modified.)

BY CARNY

DIGLOSIA

Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis.Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi lingustik setelah digunakan oleh seorang Sarjana dari Stanford University yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dari bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Antropological Association di Washington DC.kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Doglosia” yang dimuat dalam majalah “Word” tahun 1959.Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed) Language in Cuture Society (1964: 429-439) dan Giglioli (ed) Language and social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari suatu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peran tertentu.
Adapun rumusan asli Ferguson tentang diglosia sebagai berikut:
Diglosia is a relatively stable language situation, in which in addition to primary dialects of the language, which may include a standard or regional standard, there is a very divergent, highly codified, often grammatically more complex, superposed variety, the vehicle of the large and respected body or written literature, either of an earlier period or in an other speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation (word 15 (159):336)
Definisi Ferguson mempunyai maksud sebagai berikut:
a. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat : ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuh ragam lain.
b. Dialek-dialek utama itu, diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
c. Ragam lain yang bukan dialek-dialek utama itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Sudah sangat termodifikasi
• Gramatikalnya lebih kompleks
• Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
• Dipelajari melalui pendidikan formal
• Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
• Tidak digunakan oleh lapisan masyarakat manapun untuk percakapan sehari-hari.
Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur dengan bahasa mereka.Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur Arab, Yunani Modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan Sembilan topik yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting.Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa.Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua dialek rendah (disingkat R atau ragam R).Dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa Arab Klasik, bahasa Al-Qur’an yang lazim disebut al-fusha, dialek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa Arab yang lazim disebut addarij.
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan.Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan santai.
Berikut disajikan bagan tentang kapan menggunakan dialek T dan dialek R:

Pengunaan dialek T atau R yang tidak sesuai dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa di kritik, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain.Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra/puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.Dalam pendidikan formal dialek T harus digunakan dalam bahasa pengantar, namun seringkali sarana kebahasaan dialek T tidak mencukupi.Oleh karena itu dibantu dengan dialek R .Di Indonesia juga ada perbedaan ragam T dan ragam R bahasa Indonesia, ragam T digunakan dalam situasi formal seperti di dalam pendidikan; sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal seperti dalam pembicaan dengan teman akrab.
Prestise.Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa logis.Sedangkan dialek R dianggap inferior; malah ada yang menolak keberadaannya.Menurut Ferguson banyak orang Arab dan Haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu digunakan, meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R tersebut.Dalam masyarakat Indonesia ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia non baku.
Warisan Kesusastraan.Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.Kalau ada juga karya sastra kontempoler dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T.Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T itu (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum.Namun, kesusastraan itu tetap berakar, baik di Negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani, bahasa Perancis di Haiti dan bahasa Jerman di Swiss yang berbahasa Jerman.
Pemerolehan.Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali.Begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan formal kelas-kelas awal.Mereka yang mempelajari ragam T hamper tidak pernah menguasai dengan lancer, selancar penguasaannya terhadap ragam R.Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan dalam mempelajarinya selalu terkendali dengan berbagai kaidah dan aturan tata bahasa; sedangkan ragam R digunakan secara regular dan terus-terus di dalam pergaulan sehari-hari.Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar menguasai dengan baik kaidah-kaidah ragam T, tetapi tidak lancar menggunakan ragam tersebut.Sebaliknya, mereka tidak tahu atau tidak pernah memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa ragam R, tetapi dengan lancar mereka dapat menggunakan ragam tersebut.
Standardisasi.Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T.Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan.Kalaupun ada biasanya dilakukan oleh peneliti dan masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan ragam R.Peminjaman unsur leksikal ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa; tetapi penggunaan unsur leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa , sebab baru digunakan kalau sangat terpaksa.
Gramatika.Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.Contohnya dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses indikatif sederhana.Sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina dan satu tenses sederhana.
Leksikon.Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan ragam r adalah sama.Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R atau sebaliknya.Ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.Ciri-ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan.Satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R yang biasanya untuk konsep-konsep secara umum.Contohnya dalam bahasa Yunani “rumah” untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti.
Fonologi.Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya menyatakan sistem tunggal; namun fonologi T merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R yang beragam-ragam.merupakan subsistem atau parasistem.Fonologi T lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.Fonologi R lebih jauh dari bentuk yang mendasar.
Menurut Fishman (1977) mengemukakan ada empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia yaitu:
1. Bilingualisme dan diglosia
2. Bilingualisme tanpa diglosia
3. Diglosia tanpa bilingualisme
4. Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingual dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R.Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan.Contoh masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay.Di sana bahasa Guarani salah satu bahasa asli Amerika, berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T.Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing.Bahasa Guarani untuk komunikasi santai, percakapan sehari-hari dan informal; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.

BY CRN & SDH

FAKTOR PENYEBAB DAN AKIBAT KONTAK BAHASA

FAKTOR PENYEBAB
Kontak bahasa terjadi pada masyarakat terbuka yang dapat menerima anggota dari masyarakat lain (lebih dari satu) maka akan terjadilah yang disebut kontak bahasa.Kontak bahasa terjadi dalam situasi kontak sosial dimana seseorang belajar B2 dalam masyarakat.Kontak bahasa bisa juga berasal dari proses imigrasi individu/kelompok di wilayah baru.
AKIBAT TERJADINYA KONTAK BAHASA
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual.Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka artinya yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain.Tentunya akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya.Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang didalam sosiolinguistik disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahasa.
Situasi Kontak Bahasa
Berikut ini dipaparkan skema tipologi bilingualisme yakni:
a. Situasi sejarah awalnya kontak bahasa yaitu “linguistic archipelago”.
Beberapanya sering tidak dihubungkan dengan bahasa, tiap pembicara dalam daerah yang sama.Beberapa situasi jarang terjadi pada saat ini, hal ini terjadi pada zaman sebelum penjajahan.Misalnya terjadi digurun pasir Amazon dan Australia.Yang mana orang aborigin yang hidupnya bersuku-suku.Dengan sosiolinguistik hal ini termasuk extensive bilingualism.Secara linguistik dengan penyebaran kata dan dasar-dasar grammar dari satu bahasa ke bahasa lainnya.
b. Yang kedua.Kontak bahasa terjadi lebih stabil dengan rumpun bahasa.Seperti bahasa Romawi dengan bahasa Jerman melalui Swizerlan dan Bergia.
c. Yang ketiga .Kontak bahasa terjadi akibat ekpansi penjajahan Eropa.Penjajahan tidak hanya membuat sejumlah masyarakat yang prestise bahasa Eropa meningkat dengan bahasa asli orang daerah tersebut.Masyarakat baru dibuat juga secara asli dengan kasus bahasa Inggris, Perancis, Portugis, Spanyol, dan Australia tetapi sering tidak diakui sebagai bahasa Creole dari Carebbean, Afrika Barat dan Pasifik.
d. Yang keempat. Sebagai refleksi dari bahasa yang telah mereka miliki dari pembicara bahasa minoritas yang dihilangkan dengan bahasa nasional sekitarnya.
Bilingualisme bukan disiplin sebuah ilmu.Hal ini merupakan subjek dari studi untuk masuknya berbagai disiplin ilmu.Disiplin ilmunya dapat berinteraksi dengan kata lain berfungsi secara independen karena berbeda pandangan, metodologi dan terminology.
Ketika terjadi dalam masyarakat, kontak bahasa cenderung kepada sosiologi dan antropologi sosial. Bahasa merupakan fenomina sosial yang terbentuk dalam bagian-bagian masyarakat ke dalam kelompok sosial yang sering direfleksikan ke dalam bentuk linguistik.Sikap orang yang berbahasa terhadap bahasa dalam masyarakat bilingual yang sering dimasukkan dalam nilai dan norma sosial. Dalam berbagai kasus pendekatan sosiologi terhadap bilingual termasuk dalam bahasa secara keseluruhan dengan perbedaan jenisnya, perubahan bahasa secara internal dan aspek-aspeknya.
Akibat terjadinya kontak bahasa yakni:
a. Akibat yang bersifat positif.
Akibat yang bersifat positif yakni dengan terjadinya modernisasi bahasa, konsep bahasa menjadi efektif dan praktis misalnya Facial, Rebounding serta terjadi intelektualisasi terjadi secara efisien dan sub sistem.
b. Akibat yang bersifat negatif.
Akibat yang bersifat negatif yakni dengan terjadinya overestimate dan underestimate serta berasal dari faktor budaya menjadikan perasaan minder.
a. Bilingualisme
Istilah Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.Yakni penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.Mackey 1962:12, Fishman 1975:73 menyebutkan bahwa bilingualisme diartikan sebagai pengunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.Kedua bahasa tersebut yakni :
a. Bahasa Ibunya sendiri atau bahasa pertamanya yang dapat disingkat dengan B1.
b. Bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya yang dapat disingkat dengan B2.
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual.Orang yang bilingual yang dalam bahasa Indonesia dapat juga dikatakan sebagai dwibahasawan.Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).Selain istilah bilingualism dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualism adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejuimlah masalah yang sering dibicarakan dalam topic bilingualisme.
Menurut Dittmar 1976:170 mengemukakan berbagai masalah di antaranya:
a. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dikuasai dengan
baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang bilingual?
b. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualism ini?
Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa
termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
c. Kapan seseorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian?
Kapan dia harus menggunakan B1-nya dan kapan pula harus menggunakan
B2-nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya
atau B2-nya.
d. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya atau sebaliknya, B2-nya
dapat mempengaruhi B1-nya.
e. Apakah bilingualism itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam
konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur.
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauhmana penguasaan seseorang terhadap B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang bilingual.Sebelumnya akan penulis paparkan batasan-batasan mengenai bilingualism yang diberikan oleh beberapa pakar yakni:
a. Menurut Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56)
mengatakan bahwa bilingualism adalah “kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa linguistik”
Konsep Bloomfield mengenai bilingualism ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang.Penyebabnya adalah bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua bahasa yang digunakannya dan mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baiknya dengan B1-nya.Seandainya ada mungkin jarang terjadi ditemui sebab kalau seseorang penutur dapat menguasai B1 dan B2 sama baiknya, berarti orang tersebut mempunyai kesempatan yang sama untuk memperlajari dan menggunakan kedua bahasa itu.
b. Menurut Robert Lado 1964:214) mengatakan bahwa “bilingualisme adalah kemampuan menggunakan oleh seseorang sama baiknya atau hamper sama baiknya yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimanapun tingkatannya”
Jadi menurut Robert Lado pengusaan terhadap kedua bahasa tidak perlu sama baik atau hamper sama baiknya; kurangpun boleh.
c. Menurut Haugen (1961) mengatakan bahwa “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual.
Dia juga mengatakan seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja.
Menurut Diebold (1968:10) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap perrmulaan.Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah.Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap ini terletak dasar biligualisme selanjutnya.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme arkhirnya merupakan satu rentang berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat sama menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1.Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan dimana saja.Menurut Halliday dalam Fishman 1968:141 mengatakan seorang Bilingual yang dapat menggunakan B2 sama baiknya dengan B1 disebut Ambilingual.Menurut Oksaar dalam Sebeok 1972:481 menyebut hal ini adalah ekuilingual dan menurut Diebol dalam buku Hymes 1964:496 menyebut hal tersebut di atas adalah koordinat bilingual.

KONTAK BAHASA


A. KONSEP
Kontak bahasa terjadi apabila seorang penutur yang menguasai 2 bahasa atau lebih menggunakan bahasa yang dikuasainya secara bergantian.Kontak bahasa terjadi dalam diri individual.Individu tempat terjadi kontak bahas disebut dwibahasawan Atau bilingualisasi.
Ahli bahasa jarang sekali dapat mengamati atau membuat dokumen munculnya suatu bahasa, atau bahkan untuk menentukan waktu yang tepat atas munculnya suatu bahasa. Bahasa ditransmisikan dari satu generasi ke generasi dan bahkan fase lain dalam sejarah satu buah bahasa, apalagi melanggar jauh dari varietas untuk membentuk idiom baru, adalah hasil akumulasi bertahap dari perubahan selama beberapa generasi. Pengecualian adalah bahasa yang muncul sebagai akibat dari kontak bahasa. bahasa tersebut telah disebut 'sebagai kontak' bahasa (lihat Thomason 1997c dan 1997e, Sebba 1997, Bruyn 1996).
Definisi kontak bahasa yakni “language contact is the use of more than one language in the same place at the same time.” Dapat diartikan sebagai berikut “kontak bahasa adalah penggunaan lebih dari satu bahasa ditempat yang sama dan pada waktu yang sama” (Sarah G.Thomson 2001: 2).Kontak bahasa juga pengaruh bahasa yang satu dengan bahasa yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.dalam masyarakat terbuka yang anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain atau lebih dari satu masyrakat maka akan terjadi kontak bahasa.Seseorang dwibahasawan sangat mungkin terjadinya interperensi dalam antara kontak bahasa,sehingga kontak bahasa dan kdwibahasawan sangat erat hubungannya.kontak bahasa terjadi dalam situasi konteks sosial,sehingga kontak bahasa merupakan pengaruh satu bahasa kepada bahasa lain baik secara langsung atau tidak langsung.
Contoh:
“Dua orang turis berada dalam sebuah ruang dapur,mereka berada 2/3 jam
tentu mereka akan mengatakan sesuatu atau berbicara satu sama
lain,upaya mereka tersebut menarik meraka berada dalam sebuah kontak
bahasa.”
Kontak bahasa sudah terjadi selama ribuan tahun yang lalu,bahkan mungkin sejak awal manusia,dibuktikan dengan banyaknnya beberapa peninggalan baik berupa prastasti zaman dulu.Kontak bahasa bisa terjadi dimana saja,Mungkin sesuatu yang aneh apabila kita menemukan penutur bahasa yng sukses menghindari kontak bahasa dengan semua bahasa lain dalam periode tertentu atau dalam kurun waktu yang lama.
Hasil yang paling umum dari kontak bahasa adalah adannya beberapa perubahan atau seluruh bahasa walaupun tidak selalu,setidaknya salah satu bahasa mempengaruhi bahasa yang lain.Pengaruh secara umum misalnya peminjaman kata-kata.Tentunya peminjaman kata tidak bisa terjadi tanpa adanya kontak bahasa.Tidak semua situasi kontak memunculkan bahasa baru, dan tidak semua bahasa yang digunakan dalam situasi kontak juga kontak bahasa.
Kontak bahasa berfungsinya sebagai media komunikasi baru, kebutuhan yang timbul dalam situasi interaksi berbahasa silang antara kelompok-kelompok penduduk di berbagai daerah.Minimal mulai dari kontak sosial dan kadang-kadang hanya untuk tujuan perdagangan, pada komunikasi antaretnis biasa dalam kerangka sosio-ekonomi yang sama, dan pada kontak sosial yang ketat di antara kelompok-kelompok yang berbicara bahasa yang berbeda dalam komunitas yang sama dan bahkan di dalam rumah yang sama. Ada 2 tipe kontak bahasa yakni:Bahasa Pidgin dan Creole dan Bahasa Campuran
BY CRN & SDH

PRIA, MASKULINITAS DAN BAHASA

Masalah Pria dan Maskulinitas.
Penelitian ini berfokus pada penyelidikan bagaimana orang menggunakan bahasa untuk mengeksperisikan gender, bagaimana pengaruh gender terhadap pemilihan kata dalam mereka berbicara, bagaimana bahasa yang mereka terima.Hampir seluruh segi bahasa berhubungan erat dengan gender dari bagian suara terkecil sampai strategi-strategi wacana secara luas.
Sebuah temuan dari bidang bahasa dan studi gender mengikuti Lakoff’s (1975) bahasa dan Tempat wanita.Yang berfokus pada bagaimana perempuan menggunakan bahasa dan bagaimana penggunaan bahasa mereka kekal dalam posisi sub ordinatnya di masyarakat.Sejak saat itu terdapat bukti empiris dan komparatif yang sering diklaim sebagai hasil pengujian Lakoff tetapi bahkan dalam studi perbandingan laki-laki bukan menjelaskan gender melainkan menjelaskan tentang perempuan.
Bahasa dan gender disajikan di “school atau teori”.Misalnya pada perbedaan dan dominasi.Dominasi berakar pada semua perbedaan bahasa gender yang berinteraksi antara dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan.Perbedaan perspektif dapat dilihat dari perbedaan yang timbul dari perbedaan budaya anak laki-laki dan anak perempuan ketika mereka berusia muda.Dalam hal “perbedaan” seorang peneliti seperti Deborah Tannen merupakan pendukung utama, laki-laki dan perempuan yang salah penertian masalah jenis komunikasi budaya silang dan laki-laki mempunyai tujuan berbeda dibandingkan dengan perempuan.Saat ini, Sebuah pemikiran lebih bernuansa gender dan bahasa telah mengemuka.Bahasa dan gender lebih bersifat kompleks dibandingkan dengan kelompok bahasa.Mengabaikan permasalahan laki-laki dan bahasa merupakan sesuatu karya patriarki.
Pandangan ahli terhadap gender.
Pria dan maskulinas merupakan hal yang berbeda tetapi berhubungan sangat erat.Segala sesuatu yang manusia lakukan tidak maskulin dan semua hal tidak perlu dilakukan oleh laki-laki.Laki-laki biasanya didasarkan pada alat kelamin dan tubuh.Kajantanan merupakan bagian kebiasaan sesuatu yang streotip.Streotip sebagai praktek yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh orang tertentu yang dikaitkan dengan kejantanan.
Ada banyak cara yang dapat menjadikan laki-laki maskulin yakni:
Maskulinitas bukan sesuatu yang melekat pada laki-laki tetapi itu merupakan perbuatan.Dengan kata lain praktek sosial menjadikan terkait dengan laki-laki .
Ketika berfokus pada laki-laki dan maskulinitas, yang mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
• Apakah praktek-praktek linguistik yang dipahami sebagai maskulin?
• Bagaimana dan mengapa praktek-praktek dilihat sebagai maskulin?
• Bagaimana dan mengapa orang melakukan beberapa hal linguistik berbeda dari perempuan?
• Bagaimana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan maskulinitas yang berbeda?
• Mengapa mereka menciptakan yang
• mereka lakukan? dan
• Bagaimana interpretasi kita gunakan bahasa manusia dibentuk oleh mereka gender? Dalam rangka untuk dapat mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sedikit lebih diskusi tentang sifat maskulinitas diperlukan.
Apakah Maskulinitas?
Maskulinitas merupakan asumsi yang dikotomi yang mendasari seluruh sistem gender.Ada dua kategori untuk hal ini yakni : Pria dan Wanita dan maskulinitas dan kewanitaan.
R.W. Connell (1987, 1995) berpendapat bahwa dalam setiap masyarakat ada konsep maskulinitas secara dominan yang disebut juga dengan maskulinitas hegemonik.
Kiesling 2004a, 2005 bahwa ada empat wacana budaya utama tentang maskulinitas di Amerika Serikat yakni:
a. Perbedaan gender adalah wacana yang melihat pria dan wanita secara alami dan pasti berbeda dalam biologi dan perilaku.
b. Heterosexim, yakni maskulin sebagai heteroseksual; untuk maskulin dalam wacana ini yaitu keinginan seksual untuk perempuan bukan untuk laki-laki.Pada bagian artikulasi sangat berperan dalam wacana ini.
c. Dominasi ,yakni identifikasi maskulin lebih dominan, wewenang dan kekuatan.Untuk menjadikan seorang pria yang kuat, berwibawa dan terkendali.
d. Male Solidaritaas, yakni seorang laki-laki memahami aturan yang ingin dilakukan terhadap kelompok laki-laki lain.
Satu alasan kita dapat menemukan wacana dalam budaya mereka yang bersifat abstrak.Abtrak tersebut mempunyai efek membuatnya kesulitan menghubungkan mereka dengan kehidupan dan praktek yang sebenarnya.Konsep model Cultural diperbolehkan kita untuk melakukannya.Model-model budaya sebagai budaya wacana dengan mewakili asumsi tentang bagaimana kita berfikir terhadap dunia sebenarnya.
Jadi Maskulinitas didefinisikan sebagai kinerja sosial yang terkait semiotik laki-laki dan bukan untuk perempuan melalui wacana budaya dan model budaya.
Menghubungkan bahasa dengan identitas sosial.
Hubungan antara fitur linguistik (termasuk aksen, morfosintaksis, kata-kata, dan strategi wacana) dan makna yang tidak denotational (yaitu, kamus) disebut 'indexical meaning.Indexical meaning makna yang timbul karena hubungan antara fitur linguistik dan konteks (s) yang sering digunakan. Misalnya, makna dari istilah deictic yakni di sini atau hari ini bagian dari indexical karena kita harus mengetahui dimana pembicara atau saat mereka berbicara (Aspek konteks penggunaan) untuk memahami makna mereka sepenuhnya. Para indexicals yang ikut bermain dalam bahasa dan gender didasarkan pada aspek yang berbeda dari konteks. Sebuah contoh yang baik adalah nada suara: perempuan memiliki suara lebih tinggi rata-rata dari pria, sehingga pitch yang lebih tinggi biasanya indexical kewanitaan. Dengan demikian, jenis kelamin pembicara adalah aspek konteks penggunaan yang terhubung ke lapangan, sehingga kita bisa mengatakan pitch adalah indexical dari gender.
Pola Bahasa yang digunakan Pria.
Dominan
Fitur yang dituntut untuk berbahasa pria dan maskulin adalah kekuasaan dan hirarki (tingkatan). Dominasi merupakan salah satu wacana budaya maskulinitas, jadi kita akan mengharapkan orang untuk menggunakan fitur linguistik yang menciptakan atau indeks kekuasaan dan dominasi. Ini juga telah menyatakan dan menunjukkan bahwa laki-laki cenderung untuk menggunakan strategi diskursif yang indexical dari hirarkis atau sikap berkuasa atau yang dalam beberapa cara langsung menciptakan sikap mereka (Coates 2002).Namun kita harus hati-hati dalam menentukan makna terhadap fitur linguistik.Salah satu konsep linguistik bahwa bahasa laki-laki mempunyai bahasa yang power bahwa laki-laki menggangu lebih dari perempuan.Mengingat bahwa gangguan bisa menjadi strategi untuk mengklaim dominasi (karena yang satu mencegah pihak yang lain ketika mereka mau berbicara.
Kita tidak boleh membuat semacam generalisasi karena :
a. Masyarakat mendefinisikan menggangu itu berbeda bahkan orang yang sama akan memiliki definisi yang berbeda tergantung dengan jenis pembicaraannya (Pembicaraan dengan orang atau berupa pidato).
b. Banyak studi yang dilakukan untuk menyelidiki fitur diskursif dan gender ini dan hasilnya sangat mencolok dan tidak meyakinkan.
Jadi hanya karena fitur linguistik dapat digunakan untuk membuat dominasi tidak berarti laki-laki menggunakannya lebih sering daripada wanita.Hal ini memungkinkan gaya interaksi dengan gangguan lebih dapat sebagai maskulin, tetapi tidak akan penelitian yang dilakukan pada masalah ini.
Dalam kenyataannya sulit untuk menemukan satu orang yang menggunakan fitur diskursif melebihi dari perempuan.Hampir semua studi yang memberikan perbedaan baik dengan generalisi terbatas atau bertentangan dengan penelitian lain.Ada 2 alasan untuk masalah ini:
a. Indexicality yang bergantung pada konteks nyata dan bebas konteknya terhadap interpretasi ganda dan banyak lagi aspek yang konteknya berbeda selain jenis kelamin pembicara.
b. Tidak adanya kepastian jumlah gangguan yang digunakan tetapi bagaimana sebenarnya ganguan itu dicapai.
Silence berlawanan dengan interrupt (gangguan) : satu cabangnya lagi “space” termasuk percakapan kepada orang lain dalam berbicara.Satu permasalah bahwa pria menggunakan linguistik dengan fitur yang kuat yakni ketidakpastian dan negosiasi makna fitur linguistik.
Banyak cara untuk menjadi kuat yakni dengan cara pengetahuan yang unggul, ancaman dengan kekuatan fisik, tekanan posisi tertinggi dari hirarki dll atau kesemuannya sekaligus.Dengan adanya banyaknya kekuatan sekaligus menjadikan ketidakpastian makna sosial untuk fitur-fitur linguistik.Berarti akan mempermudah membuat generalisasi tentang laki-laki dan maskulinitas dan bahasa daripada membuat tentang “men speech” atau “ masculine language” seperti : kami berharap laki-laki untuk menggunakan pidato dengan menciptakan dominasi dalam beberapa cara, tapi kami tidak bisa menentukan fitur apa tentang laki-laki yang akan digunakan untuk melakukan hal ini, karena fitur linguistik yang sama dapat mengindeks hal yang berbeda tergantung pada konteks.
Pria dapat dibandingkan dengan perempuan oleh orang lain sebagai orang mempunyai wewenang dan kekuasaan sebelum interaksi dimulai.Maksudnya silent seorang pria dapat ditafsirkan sebagai kekuatan, sedangkan silent dari wanita sebagai kelemahan.Perbedaan ini juga berlaku untuk tingkat atau status dalam masyarakat.
Persaingan Wacana
Wacana budaya merupakan kekuataan yang mempengaruhi cara laki-laki berbicara dan mendengar.Tinggi rendahnya derajat seorang laki-laki tergantung situasi dan sikap terhadap pekerjaan.Sikap ini untuk eksperisi keinginan homo sosial tanpa keinginannya secara serius.
Pria dan Kesantunan
Ada sejumlah cara untuk meneliti kesantunan linguistik tetapi yang paling dominan yakni teori kesantunan.Dalam teori ini, pembicara masing-masing mempunyai face.Face itu terdiri dari dua sisi.Positive face dan Negative face. Positive face perlu diakui oleh orang lain.Sedangkan nnegative face yakni kebebasan yang ingin dilakukan tanpa pemaksaan dari orang lain.Dalam teori ini tindak tutur mengancam kepada pembicara dan pendengar, biasanya dapat diatasi dengan berbagai macam strategi kesopanan untuk mengurangi ancaman ini.Bisa juga dengan melakukan tindak tutur tidak langsung dengan cara hanya mengucapkan pernyataan daripada permintaan atau perintah.Misalnya the trash need to be taken out bukan take out the trash.
Strategi lain to membangun face seseorang dengan menghadapinya secara positif.Studi gender dan kesopanan menunjukkan bahwa laki-laki kurang sopan daripada perempuan.Strategi kesopanan dapat terlihat dari percakapan campuran antar gender.

Laki-laki dan pola-pola variasi.
Peneliti bahasa dan gender juga menyelidiki pola variasi dalam pengucapan dan fitur tata bahasa.Secara umum, para peneliti telah menemukan bahwa untuk fitur bahasa yang stabil yakni orang saat ini tidak mengalami perubahan yang terjadi di masyarakat yang diteliti, pria biasanya menunjukkan tingkat penggunaan yang lebih tinggi daripada perempuan yang terkait dengan kelas pekerja dan lebih rendah terkait dengan pendidikan dan standar bahasa.Tetapi ini tidak mutlak terjadi selalu ada banyak pria dan wanita jika dibandingkan secara individual tidak mengikuti pola ini.Sebagian besar penjelasan untuk pola ini difokuskan kepada wanita daripada laki-laki tetapi ada juga penjelasan difokuskan kepada laki-laki salah satunya bahasa daerah.
Semua wacana budaya maskulinitas dapat memberikan penjelasan masalah pola variasi gender dalam tingkat penggunaan untuk vernacular dan standar fonologi dan fitur gramatikal.Ecert menjelaskan bahwa fokusnya kepada perbedaan dan kekuasaan(power) tetapi kami juga membayangkan laki-laki menghindari hal yang berhubungan dengan homoseksual atau dengan cara lain mensugesti bagian-bagian atau hirarki diantara laki-laki (melanggar wacana solidaritas). Masing-masing dapat menjadi bagian dari penjelasan, atau mereka mungkin dalam keadaan tertentu penjelasan utama.
Pola yang kuat dan wacana maskulinitas memberikan kita penjelasan yang cukup untuk mereka. Menggunakan wacana juga dapat membantu studi variasi dan dalam bahasa gender pada masyarakat non-Barat, seperti studi yang dilakukan oleh Haeri (1996) untuk Kairo. Dalam penelitian tersebut, Haeri menemukan bahwa differensiasi yang relevan bukan satu standar vernakular, melainkan satu lagi yang jauh lebih kompleks. Banyak kompleksitas ini harus dilakukan dengan hubungan antara berbagai jenis bahasa Arab di Kairo (Arab Klasik, standar Egytian, dan varietas vernacular Egytian), dan fakta bahasa Arab tersedia untuk laki-laki yang dianggap hanya sesuai untuk laki-laki. Oleh karena itu, Haeri menemukan bahwa dalam masyarakat itu bahwa laki-laki lebih baik daripada perempuan yang berpendidikanketika wanita lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk vernakular. Sama seperti pola wacana, ola variasi fonologi dan fiturgramatikal fitur didorong oleh model budaya dan indexicalities dari masyarakat tutur setempat.
Laki-laki,Gosip dan heteroseksualitas
Perhatian utama sekarang terhadap wacana kekuasaan, solidaritas, dan perbedaan, Namun kita belum membahas peran heterosexuality, selain hubungan kompleks untuk pandangan hegemonik solidaritas laki-laki. Cameron (1997), dalam sebuah analisis dari percakapan antara anggota persaudaraan, menunjukkan salah satu cara yang muncul yakni pencaopaian heteroseksualitas. Dia berpendapat bahwa kelompok laki-laki sebenarnya bergosip tentang orang lain yang tidak hadir. Mereka bicara tentang tubuh dan penampilan dan bagaimana penampilan yang membuatnya “look guy” serta menjadikan orang lain sebagai gay, tetapi mereka secara implisit mengklaim mereka tidak melakukannya. Salah satu poin yang membuat Cameron tertarik dalam artikel ini adalah bahwa laki-laki melakukan pekerjaan dengan menggunakan kegiatan pidato (gosip) dan strategi (kerjasama) yang berhubungan dengan kewanitaan., menunjukkan bahwa jika manusia menggunakan fitur linguistik dan strategi dalam wacana cara Feminin.Mereka masih dapat terhubung ke wacana maskulinitas dalam isi pembicaraan mereka. Saya menemukan pola yang sama dalam analisis saya pembentuk heteroseksualitas
Jadi ada variasi yang besar dalam cara laki-laki menggunakan bahasa , pada kenyataannya lebih variasi di antara beberapa jenis laki-laki dari laki-laki dan Perempuan. Namun, pola-pola yang muncul yang menguntungkan dijelaskan melalui wacana budaya maskulinitas. Kita tahu jumlah yang wajar tentang bagaimana pria bicara dan bagaimana rata-rata perebedaan mereka berbicara dari perempuan, Tapi satu hal yang belum diselidiki secara detil adalah bagaimana perbedaan jenis perbicarana laki-laki. Apakah laki-laki yang berbeda dalam hal menekankan model budaya yang berbeda dari maskulinitas, atau bahkan menantang mereka dalam cara mereka berbicara?
Studi awal tentang bahasa dan maskulinitas, laki-laki diasumsikan menjadi orang-orang yang kurang bahasa ekspresif, dan menggunakan bahasa untuk menjadi 'ekspresif' (Sattell 1983). Namun, setelah lebih sedikit dari satu dasawarsa studi bahasa dan maskulinitas, jelas bahwa laki-laki hanya sebagai ekspresif dalam menggunakan bahasa mereka, dan hanya beragam. Perbedaan itu dalam hal ekspresi ini kurang muncul, karena begitu sering norma melawan pembentukan yang ekpresif. Ketika kita mulai mengerti pada keberadaan laki-laki dan wacana and identitas yang membentuk keinginan mereka.Kami menemukan bahwa mereka sangat cerdas dan halus, dan secara aktif membangun identitas mereka seperti halnya orang lain.
Salah satu dari dua isu yang telah diperdebatan gender dan penelitian bahasa yakni perbedaan gender dalam penggunaan bahasa. Bahasa dalam bidang gender telah terjadi perdebatan tentang apakah pertanyaan-pertanyaan dari perbedaan gender patut dicari solusinya.Sebuah masalah tertentu dengan perbedaan penelitian seks adalah kurangnya perhatian mengenai apa aspek kognisi dan perilaku yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Salah satu saran yakni inextricability esensial (baik biologis maupun sosial dan terbentuk dalam perbedaan sosial.Berbagai alasan mengapa resolusi memuaskan untuk pertanyaan perbedaan seks belum tercapai. Perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan verbal dan suara sebagai contoh pembahasan yang menggambarkan pola yang lebih umum dalam perbedaan penelitian seks. Meskipun kepercayaan yang populer yang bertentangan, (1988) meta Hyde dan Linn's melakukan analisis studi pada kemampuan verbal yang membuktikan secara umum bahwa perbedaan jenis kelamin kemampuan verbal tidak ada. Studi pada suara telah menemukan bahwa orang mudah dapat mengidentifikasi's gender orang atas dasar pembicaraan mereka, tetapi penelitian belum mampu untuk menutupi apa fitur suara untuk siap diidentifikasi.
Masalah bahasa dan gender, Stokoe (1998, 2000) telah menjadi pelopor utama dari pendekatan analitik percakapan. Stokoe mendukung pergeseran konstruksionis untuk studi gender dan bahasa tetapi berpendapat bahwa beberapa hal baru mengacaukan posisi konstruksionis dengan esensialisme gender. Stokoe berpendapat bahwa penelitian seperti itu.Coates's () 1996 women talk menjadi bermasalah karena menggunakan gagasan konstruksionis dari gender tetapi terus menjadikan posisinya esensialis. Cara wanita berbicara diidentifikasi sebagai menjadikan dirinya seorang wanita.Maskulinitas dan feminimitas bertumpu pada asumsi dari dua jenis kelamin.
Stokoe menyarankan bahwa data percakapan hanya dianalisis sebagai maskulin atau feminine karena anggota peneliti harus menguasai budaya dan mengetahui apa pembicaraan dapat ditemukan. Penelitian yang mengasumsikan bahwa ketika wanita berbicara menjadikan feminine dan ketika orang bicara mereka melakukan maskulinitas efektif membuat pengertian tentang perbedaan gender dalam berbicara, karena setiap komentar yang memperlakukan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok kategorial yang berbeda memperkuat polarisasi gender.
Stokoe (1998, 2000) membatasi analisisnya tentang gender dan bahasa hanya selama interaksi saat gender sebagai topik utama. Tentang masalah bahasa bias, Speer dan Potter (2000), misalnya, menggunakan pendekatan diskursif untuk memeriksa heteroseksisme dalam bahasa. Setelah analitik mentalitas percakapan mereka dihindari dengan asumsi mereka tahu apa bahasa heterosexist itu dan hanya diinterogasi apa pembicara berorientasi sebagai bias. Analisis mereka mengidentifikasi perangkat retoris beberapa yang memiliki fungsi ganda.
Sebuah gender konvensional dan pendekatan bahasa akan melibatkan kode percakapan untuk penggunaan fitur linguistik tertentu dan pengujian untuk perbedaan jenis kelamin. Namun, menggunakan analitik mentalitas percakapan saya pilih hanya percakapan di mana gender terbukti relevan dengan anak-anak. Percakapan yang dipilih menunjukkan jenis bagian yang diidentifikasi oleh Hopper dan LeBaron (1998). Selain itu tampak bahwa setiap kali anak-anak itu melihat jenis kelamin itu maka terbentuk atau norma-norma gender.
Masalah Gender sangat relevan untuk memahami struktur dan arti dari setiap interaksi sosial. Dengan demikian masalah yang berkelanjutan bagi para peneliti bahasa feminis adalah masalah kapan, dimana dan bagaimana cara mengimpor pengetahuan budaya tentang gender dalam analisis interaksi.Perbedaan konseptual antara stereotip dan gender nyata dalam speech yang bermasalah. Perbedaan antara speech perempuan dan laki-laki mungkin ada, tapi apa yang membedakan speech perempuan dari laki-laki tidak bisa direduksi menjadi satu set sederhana atau bahkan fitur kompleks.
Sebuah aspek dari penggunaan bahasa yang sangat terkait dengan variabel identitas sosial seperti variasi gender dalam variasi. Feminis dalam penelitian sosiolinguistik tentang gender dan bahasa berubah dari hubungan essensial dan Universal antara identitas gender dan bahasa ke pembentukan gender melalui komunitas lokal dari praktek.