HomeEBOOKS AM*EBOOKS LS*EBOOKS ED*EBOOKS LG*EBOOKS GN**ARTICLES**JADWAL KULIAH.2011/2012**VIDEO WordLinx - Get Paid To Click free counters

Minggu, 28 Agustus 2011

DIGLOSIA

Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis.Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi lingustik setelah digunakan oleh seorang Sarjana dari Stanford University yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dari bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Antropological Association di Washington DC.kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Doglosia” yang dimuat dalam majalah “Word” tahun 1959.Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed) Language in Cuture Society (1964: 429-439) dan Giglioli (ed) Language and social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari suatu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peran tertentu.
Adapun rumusan asli Ferguson tentang diglosia sebagai berikut:
Diglosia is a relatively stable language situation, in which in addition to primary dialects of the language, which may include a standard or regional standard, there is a very divergent, highly codified, often grammatically more complex, superposed variety, the vehicle of the large and respected body or written literature, either of an earlier period or in an other speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation (word 15 (159):336)
Definisi Ferguson mempunyai maksud sebagai berikut:
a. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat : ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuh ragam lain.
b. Dialek-dialek utama itu, diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
c. Ragam lain yang bukan dialek-dialek utama itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Sudah sangat termodifikasi
• Gramatikalnya lebih kompleks
• Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
• Dipelajari melalui pendidikan formal
• Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
• Tidak digunakan oleh lapisan masyarakat manapun untuk percakapan sehari-hari.
Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur dengan bahasa mereka.Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur Arab, Yunani Modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan Sembilan topik yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting.Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa.Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua dialek rendah (disingkat R atau ragam R).Dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa Arab Klasik, bahasa Al-Qur’an yang lazim disebut al-fusha, dialek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa Arab yang lazim disebut addarij.
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan.Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan santai.
Berikut disajikan bagan tentang kapan menggunakan dialek T dan dialek R:

Pengunaan dialek T atau R yang tidak sesuai dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa di kritik, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain.Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra/puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.Dalam pendidikan formal dialek T harus digunakan dalam bahasa pengantar, namun seringkali sarana kebahasaan dialek T tidak mencukupi.Oleh karena itu dibantu dengan dialek R .Di Indonesia juga ada perbedaan ragam T dan ragam R bahasa Indonesia, ragam T digunakan dalam situasi formal seperti di dalam pendidikan; sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal seperti dalam pembicaan dengan teman akrab.
Prestise.Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa logis.Sedangkan dialek R dianggap inferior; malah ada yang menolak keberadaannya.Menurut Ferguson banyak orang Arab dan Haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu digunakan, meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R tersebut.Dalam masyarakat Indonesia ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia non baku.
Warisan Kesusastraan.Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.Kalau ada juga karya sastra kontempoler dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T.Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T itu (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum.Namun, kesusastraan itu tetap berakar, baik di Negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani, bahasa Perancis di Haiti dan bahasa Jerman di Swiss yang berbahasa Jerman.
Pemerolehan.Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali.Begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan formal kelas-kelas awal.Mereka yang mempelajari ragam T hamper tidak pernah menguasai dengan lancer, selancar penguasaannya terhadap ragam R.Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan dalam mempelajarinya selalu terkendali dengan berbagai kaidah dan aturan tata bahasa; sedangkan ragam R digunakan secara regular dan terus-terus di dalam pergaulan sehari-hari.Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar menguasai dengan baik kaidah-kaidah ragam T, tetapi tidak lancar menggunakan ragam tersebut.Sebaliknya, mereka tidak tahu atau tidak pernah memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa ragam R, tetapi dengan lancar mereka dapat menggunakan ragam tersebut.
Standardisasi.Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T.Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan.Kalaupun ada biasanya dilakukan oleh peneliti dan masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan ragam R.Peminjaman unsur leksikal ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa; tetapi penggunaan unsur leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa , sebab baru digunakan kalau sangat terpaksa.
Gramatika.Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.Contohnya dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses indikatif sederhana.Sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina dan satu tenses sederhana.
Leksikon.Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan ragam r adalah sama.Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R atau sebaliknya.Ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.Ciri-ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan.Satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R yang biasanya untuk konsep-konsep secara umum.Contohnya dalam bahasa Yunani “rumah” untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti.
Fonologi.Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya menyatakan sistem tunggal; namun fonologi T merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R yang beragam-ragam.merupakan subsistem atau parasistem.Fonologi T lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.Fonologi R lebih jauh dari bentuk yang mendasar.
Menurut Fishman (1977) mengemukakan ada empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia yaitu:
1. Bilingualisme dan diglosia
2. Bilingualisme tanpa diglosia
3. Diglosia tanpa bilingualisme
4. Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingual dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R.Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan.Contoh masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay.Di sana bahasa Guarani salah satu bahasa asli Amerika, berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T.Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing.Bahasa Guarani untuk komunikasi santai, percakapan sehari-hari dan informal; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.

BY CRN & SDH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar