HomeEBOOKS AM*EBOOKS LS*EBOOKS ED*EBOOKS LG*EBOOKS GN**ARTICLES**JADWAL KULIAH.2011/2012**VIDEO WordLinx - Get Paid To Click free counters

Sabtu, 27 Agustus 2011

HAKIKAT DAN FUNGSI BUKU TEKS


Sebagaimana tersebut pada bagian sebelumnya bahwa buku teks merupakan salah satu jenis buku pendidikan. Buku teks adalah buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan.
Rumusan senada juga disampaikan oleh A.J. Loveridge (terjemahan Hasan Amin) sebagai berikut.
”Buku teks adalah buku sekolah yang memuat bahan yang telah diseleksi mengenai bidang studi tertentu, dalam bentuk tertulis yang memenuhi syarat tertentu dalam kegiatan belajar mengajar, disusun secara sistematis untuk diasimilasikan.”
Chambliss dan Calfee (1998) menjelaskannya secara lebih rinci. Buku teks adalah alat bantu siswa untuk memahami dan belajar dari hal-hal yang dibaca dan untuk memahami dunia (di luar dirinya). Buku teks memiliki kekuatan yang luar biasa besar terhadap perubahan otak siswa. Buku teks dapat mempengaruhi pengetahuan anak dan nilai-nilai tertentu.
Sementara itu Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 3) menyebutkan bahwa buku teks atau buku pelajaran adalah sekumpulan tulisan yang dibuat secara sistematis berisi tentang suatu materi pelajaran tertentu, yang disiapkan oleh pengarangnya dengan menggunakan acuan kurikulum yang berlaku. Substansi yang ada dalam buku diturunkan dari kompetensi yang harus dikuasai oleh pembacanya (dalam hal ini siswa).
Pusat Perbukuan (2006: 1) menyimpulkan bahwa buku teks adalah buku yang dijadikan pegangan siswa pada jenjang tertentu sebagai media pembelajaran (instruksional), berkaitan dengan bidang studi tertentu. Buku teks merupakan buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya, biasa dilengkapi sarana pembelajaran (seperti pita rekaman), dan digunakan sebagai penunjang program pembelajaran.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 menjelaskan bahwa buku teks (buku pelajaran) adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.

Dari kelima rumusan itu kiranya dapat diketahui indikator atau ciri penanda buku teks sebagai berikut.
Buku teks merupakan buku sekolah yang ditujukan bagis siswa pada jenjang pendidikan tertentu.
Buku teks berisi bahan yang telah terseleksi.
Buku teks selalu berkaitan dengan bidang studi atau mata pelajaran tertentu
Buku teks biasanya disusun oleh para pakar di bidangnya
Buku teks ditulis untuk tujuan instruksional tertentu.
Buku teks biasanya dilengkapi dengan sarana pembelajaran.
Buku teks disusun secara sistematis mengikuti strategi pembelajaran tertentu.
Buku teks untuk diasmilasikan dalam pembelajaran.
Buku teks disusun untuk menunjang program pembelajaran.
Dari butir-butir indikator tesebut, buku teks mempunyai ciri tersendiri bila dibanding dengan buku pendidikan lainnya, baik dilihat dari segi isi, tataan, maupun fungsinya. Dilihat dari segi isinya, buku teks merupakan buku yang berisi uraian bahan ajar bidang tertentu, untuk jenjang pendidikan tertentu, dan pada kurun ajaran tertentu pula. Dilihat dari segi tataanya, buku teks merupakan sajian bahan ajar yang mempertimbangkan faktor (1) tujuan pembelajaran, (2) kurikulum dan struktur program pendidikan, (3) tingkat perkembangan siswa sasaran, (4) kondisi dan fasilitas sekolah, dan (5) kondisi guru pemakai. Dari segi fungsinya, selain mempunyai fungsi umum sebagai sebagai sosok buku, buku teks memupunyai fungsi sebagai (1) sarana pengembang bahan dan program dalam kurikulum pendidikan, (2) sarana pemerlancar tugas akademik guru, (3) sarana pemerlancar ketercapaian tujuan pembelajaran, dan (4) sarana pemerlancar efisiensi dan efektivitas kegiatan pembelajaran.

Secara teknis Geene dan Pety (dalam Tarigan, 1986: 21) menyodorkan sepuluh kategori yang harus dipenuhi buku teks yang berkualitas. Sepuluh kategori tersebut sebagai berikut.
• Buku teks haruslah menarik minat siswa yang mempergunakannya.
• Buku teks haruslah mampu memberikan motivasi kepada para siswa yang memakainya.
• Buku teks haruslah memuat ilustrasi yang menarik siswa yang memanfaatkannya.
• Buku teks seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya.
• Isi buku teks haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya, lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan terencana sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu.
• Buku teks haruslah dapat menstimuli, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang mempergunaknnya.
• Buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindar dari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak embuat bingung siswa yang memakainya.
• Buku teks haruslah mempunyai sudut pandang atau ”point of view” yang jelas dan tegas sehingga ada akhirnya juga menjadi sudut pandang para pemakainya yang setia.
• Buku teks haruslah mamu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa.
• Buku teks haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para pemakainya.
Sepuluh kategori yang disodorkan Geene dan Petty tersebut pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketiga ciri buku teks yang disampaikan sebelumnya. Dikatakan demikian, karena butir-butir kategori tersebut bisa dimasukkan ke dalam tiga ciri buku teks.
Sebagai kelengkapan kategori tersebut, Schorling dan Batchelder (1956) memberikan empat ciri buku teks yang baik, yaitu
(1) direkomendasikan oleh guru-guru yang berpengalaman sebagai buku teks yang baik;
(2) bahan ajarnya sesuai dengan tujuan pendidikan, kebutuhan siswa, dan kebutuhan masyarakat;
(3) cukup banyak memuat teks bacaan, bahan drill dan latihan/tugas; dan
(4) memuat ilustrasi yang membantu siswa belajar.

Sebagai buku pendidikan, buku teks memainkan peranan penting dalam pembelajaran. Dengan buku teks, program pembelajaran bisa dilaksanakan secara lebih teratur, sebab guru sebagai pelaksana pendidikan akan memperoleh pedoman materi yang jelas. Terhadap pentingnya buku teks ini, Grambs, J. D. dkk. (1959) menyatakan”The textbook is one of the teacher’s major tools in guiding learning”.
Sementara itu, Hubert dan Harl menyoroti nilai lebih buku teks bagi guru sebagai berikut.
• Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
• Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar, skema, diagram, dan peta.
• Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk mengadakan review di kemudian hari.
• Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
• Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
• Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem dan logika tertentu.
• Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Bagi siswa sasaran, buku teks akan berpengaruh terhadap kepribadiannya, walaupun pengaruh itu tidak sama antara siswa satu dengan lainnya. Dengan membaca buku teks, siswa akan dapat terdorong untuk berpikir dan berbuat yang positif, misalnya memecahkan masalah yang dilontarkan dalam buku teks, mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks, atau melakukan pelatihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Dengan adanya dorongan yang konstruktif tersebut, maka dorongan atau motif-motif yang tidak baik atau destruktif akan terkurangi atau terhalangi. Oleh karena itu benar apa yang dikatakan oleh Musse dkk (1963:484) bahwa pengaruh buku teks terhadap anak bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dapat mendorong perkembangan yang baik dan (2) menghalangi perkembangan yang tidak baik.
Sebagai pemantapan tentang fungsi buku teks, Loveridge menyatakan sebagai berikut:
“Pelajaran dalam kelas sangat bergantung pada buku teks. Dalam keadaan guru tidak memenuhi syarat benar, maka buku teks merupakan pembimbing dan penunjang dalam mengajar. Bagi murid, buku teks bertugas sebagai dasar untuk belajar sistematis, untuk memperteguh, mengulang, dan untuk mengikuti pelajaran lanjutan.”
Bagi orang tua pun buku teks mempunyai peran tersendiri. Dengan buku teks orang tua bisa memberikan arahan kepada anaknya apabila yang bersangkutan kurang memahami materi yang diajarkan d sekolah. Dari keadaan ini orang tua akhirnya bisa mengetahui daya serap anaknya terhadap materi mata pelajaran tertentu. Apabila daya serapnya kurang, perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan; dan apabila daya serapnya baik, perlu juga dilakukan langkah-langkah pemantapan atau pengayaan.
Pada sisi lain, buku teks dapat dipandang sebagai simpanan pengetahuan tentang berbagai segi kehidupan (Pusat Perbukuan, 2005). Karena sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan dan penyajiannya, buku teks itu memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang caranya. Dengan demikian, penggunaan buku teks merupakan bagian dari upaya pencipataan ”budaya buku” bagi siswa, yang menjadi salah satu indikator dari masyarakat yang maju.
Dipandang dari hasil belajar, buku teks mempunyai peran penting. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa buku teks berperan secara maknawi dalam prestasi belajar siswa. Laporan World Bank (1995) mengenai Indonesia, misalnya, ditunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas lain berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa. Di Filipina, peningkatan rasio kepemilikan buku siswa dari 1 : 10 menjadi 1 : 2 di kelas 1 dan 2 secara signifikan meningkatkan hasil belajar siswa (World Bank, 1995). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Supriadi (2000) yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku berkorelasi positif dan bermakna dengan prestasi belajar.
Dipandang dari proses pembelajaran pun demikian. Untuk mencapai kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran, siswa perlu menempuh pengalaman dan latihan serta mencari informasi tertentu. Salah satu alat yang efektif untuk mencapai kompetensi tersebut adalah lewat penggunaan buku teks. Sebab, pengalaman dan latihan yang perlu ditempuh dan informasi yang perlu dicari, begitu pula tentang cara menempuh dan mencarinya, tersaji dalam buku teks secara terprogram.
Walaupun buku teks diperuntukkan bagi siswa, guru pun dapat memanfaatkannya. Pada waktu memberikan pembelajaran kepada siswa, guru dapat mempertimbangkan pula apa yang tersaji dalam buku teks. Namuk demikian, guru tetap memiliki kebebasan dalam memilih, mengembangkan, dan menyajikan materi pembelajaran. Semua itu merupakan wewenang dan tanggung jawab profesionalitas guru.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa keberadaan buku teks sangat fungsional baik bagi kelancaran pengelolaan kelas, bagi guru, bagi siswa, maupun bagi orang tua.
Dikutip dari Masnur Muslich di 10:17
Label: Artikel

BELAJAR BAHASA KEDUA

Kita telah mengatakan bahawa pemerolehan bahasa ibu itu berlaku di kalangan kanak-kanak secara tidak formal, yakni tidak perlu diajar. Bahasa kedua pula terpaksa dipelajari dan hanya berkembang melalui latihan dan pengukuhan. Bukan itu sahaja yang berlaku. Kita mesti mempunyai dorongan dan sikap yang sihat untuk dapat belajar dengan berkesan. Dorongan dan sikap yang sihat ini menjadi faktor sosial dan budaya. Tegasnya ada perbezaan yang besar antara memperolehi bahasa pertama dan mempelajari bahasa kedua. Bahasa pertama dikuasai secara tidak formal. Ia tidak perlu diajar dan kanak-kanak pandai tanpa pembelajaran. Kanak-kanak hanya perlu didedahkan kepada bahasa dan mereka akan pandai dengan sendirinya. Kita terpaksa belajar bahasa kedua melalui rancangan dan kaedah tertentu. Di sini kita tumpukan pula perhatian kita kepada pembelajaran bahasa sebagai bahasa kedua. Ini mungkin memberi kita pengetahuan mengenai masalah penting dan sukar diatasi di negara ini. Misalnya, pengajaran bahasa Melayu sebagai bahasa pertama kepada anak-anak Melayu mungkin tidak menimbulkan masalah besar. Tetapi, pengajaran bahasa Melayu sebagai bahasa kedua kepada kaum pendatang yang tinggal di Malaysia ini, masih belum menghasilkan kejayaan yang dijangka. Kita tidak perlu membuat kajian yang mendalam. Sekali imbas kita dapat melihat bahawa kaum mendatang ini tidak dapat mempelajari bahasa Melayu dengan baik. Dengan kaedah, bahan, guru dan masa yang diberi, maka sebenarnya sangat aneh kenapa orang bukan Melayu tidak cepat, bahkan tidak dapat mempelajari bahasa Melayu dengan fasih. Walau bagaimanapun, mungkin ada masalah guru kerana di mana-mana terdapat kekurangan guru bahasa Melayu. Juga, ada guru bukan Melayu yang masih belum fasih atau baik pencapaian bahasanya, ditugaskan mengajar bahasa Melayu.

Mungkin salah satu dari masalah yang besar ialah, bahasa Melayu yang diajar itu amat formal dan tidak ada kegunaan atau persamaannya dengan bahasa yang digunakan hari-hari, sehingga murid-murid terpaksa memperlajari suatu dialek yang berlainan yang tidak boleh mereka tuturkan di luar kelas. Masalah ini dihadapi oleh kedua-dua murid Melayu atau bukan Melayu. Dengan kata lain, bahasa yang diajar itu tidak mengambil kira lingkungan kebudayaannya di mana ia dituturkan. Pengajaran dan pembelajaran mana-mana bahasa kedua itu, hendaklah dilakukan dalam konteks kebudayaan dan sosial yang hidup, iaitu perlulah diajar bahasa yang dipertuturkan hari-hari. Dengan itu maka dapatlah dikatakan yang pembelajaran bahasa Melayu di Malaysia oleh kaum bukan Melayu itu hendaklah dengan menggunakan dialek yang betul-betul dituturkan supaya mereka dapat menggunakannya di luar kelas. Apa yang diajar di sekolah itu jarang benar dapat digunakan di luar kelas tanpa merasa janggal. Selalunya bahasa yang diajar berbentuk bahasa pesuratan dan ia tidak dipakai dalam perbualan hari-hari, walaupun oleh orang Melayu sendiri.


PROSES MENJADI DWIBAHASA

Tadi telah dibincangkan proses penguasaan bahasa secara teori behaviorisme dan secara biologis. Sekarang marilah pula kita lihat dari segi sosiolinguistik pula tentang pembelajaran bahasa di kalangan orang dewasa. Dalam proses mempelajari bahasa kedua ini, kita akan menumpukan perhatian kepada proses pembelajaran bahasa kedua oleh mereka yang sudah dewasa, atau mereka yang sudah melebihi jangkamasa yang subur untuk perkembangan bahasa secara semulajadi. Jadi pembelajaran bahasa asing itu tidak lagi berlaku secara semulajadi. Pembelajaran itu perlulah berlaku dalam satu lingkungan sosial di mana bahasa itu dituturkan, iaitu di dalam kegiatan sesuatu kebudayaan tertentu. Proses menjadi dwi-bahasa ini dapat dikatakan proses menghilangkan keasingan yang dirasai oleh seseorang pelajar dalam kebudayaan bahasa yang dipelajari itu. Dalam hal ini linguistik dan sosiologi saling berjalinan. Sebenarnya ini merupakan suatu masalah persepaduan yang amat kompleks di mana seseorang pelajar itu mencuba meresapkan ciri-ciri kebudayaan, iaitu di mana bahasa itu dituturkan. Dalam hal ini lakuan kebudayaan dan linguistik yang sudah ada padanya, iaitu dari bahasa ibunya, sentiasa mempengaruhi proses pembelajaran bahasa kedua tersebut. Si pelajar itu terpaksa menguasai lakuan yang baharu dan terpaksa memilih dalam mempergunakan yang baharu atau yang lama itu mengikut keperluan konteks. Gangguan dari sesuatu unsur bahasa ibu sentiasa berlaku semasa seorang dewasa mempelajari satu bahasa lain. Ini dapat kita perhatikan dari satu contoh bahawa dalam mempelajari bahasa Inggeris, seorang Melayu harus dipengaruhi oleh lakuan sebutan dalam bahasa Melayu. Misalnya dalam menyebut bunyi t sudah tentu seseorang Melayu tidak akan menyebutnya dengan aspirasi sebagaimana dalam bahasa Inggeris. Umpamanya dia akan menyebut perkataan hat sebagai [hat] sahaja dan tidak [hath] sebagaimana yang diucapkan oleh orang Inggeris. Sebagai satu contoh lagi di mana proses pembelajaran bahasa itu dapat dikatakan satu proses menguasai lakuan baharu, maka dapat pula dilihat seorang penutur bahasa Melayu akan terus mempergunakan katapartikel lah walaupun dia bertutur dalam bahasa Inggeris. Umpamanya I want to go homelah jelas menampakkan kepada kita bahawa unsur lakuan dalam ayat bahasa Melayu seperti lah dipindahkan ke bahasa Inggeris. Oleh yang demikian bagaimanakah agaknya orang dewasa itu mempelajari pola-pola bahasa kedua itu?


MEMBENTUK LAKUAN BAHASA MELALUI LATIHAN

Di sini kita mengambil tauladan dari bagaimana bahasa pertama itu dikuasai. Mengikut teori behaviorisme, lakuan itu terbentuk melalui lakuan yang diulang dan dikukuhkan. Oleh itu sebagai orang dewasa, kita terpaksa berlatih untuk mempelajari bahasa kedua. Kita terpaksa berlatih dengan begitu rapi lebih-lebih lagi dalam bahagian di mana lakuan bahasa ibu kita mengganggu pembentukan lakuan bahasa yang sedang dipelajari. Oleh itu mempelajari bahasa ini mungkin dapat dikatakan suatu proses mempelajari lakuan baharu, samalah seperti seorang yang biasa memandu kereta di sebelah kanan jalan dan kemudian terpaksa memandu di sebelah kiri jalan. Dalam hal ini terdapat kecenderungan untuk mempergunakan lakuan yang lama. Oleh itu di mana perlu lakuan yang sama itu diperkenalkan dahulu dan kita harus berhati-hati supaya mempelajari mempergunakan lakuan yang baharu atau yang tidak sama dengan dalam bahasa kandungannya. Proses mempelajari bahasa itu menumpukan perhatian kepada proses pembelajaran perbezaan dan persamaan di antara kedua lakuan bahasa itu.


Keperluan Latihan

Kita dapat perhatikan bahawa perkara yang penting sekali dalam hal pembelajaran bahasa kedua itu ialah latihan. Walau bagaimanapun haruslah diketahui bahawa latihan itu hanyalah merupakan satu bahagian sahaja daripada seluruh proses menjadi dwibahasa. Latihan yang demikian mencakupi latihan mendengar, pendedahan terhadap penggunaan bahasa itu, berfikir, bercakap sama dengan menggunakan satu bahan pengajaran yang tersusun rapi ataupun dengan menggunakan bahan yang dibentuk secara rambang. Tidaklah termasuk pada akal bahawa ada bahasa yang dapat ipelajari tanpa latihan. Ini tidaklah pula bermakna bahawa latihan itu sahaja yang penting kerana sebenarnya ada unsur-unsur lain yang terlibat. Latihan memanglah dapat membentuk lakuan. Walau bagaimanapun, ada kemungkinan bahawa lakuan juga dapat terbentuk di luar dari apa yang kita katakan latihan, tetapi contoh begitu sangat sukar didapati, iaitu mungkin melalui satu teori dan teknik pembelajaran yang baharu yang tidak dapat kita gambarkan di sini.


Dorongan untuk Mempelajari Bahasa Kedua

Kita cuba bincangkan kenapa agaknya orang menjadi dwi-bahasa. Misalnya, seorang penjaja ais kacang bangsa India di Pulau Pinang fasih menggunakan bahasa kandungnya Tamil, bijak berbahasa Melayu, tahu bercakap Cina dialek Hokkien dan juga dia boleh berbahasa Inggeris sedikit-sedikit. Bahkan ini merupakan suatu ciri umum bagi ramai di antara penduduk Pulau Pinang. Walau bagaimanapun orang India ini tidaklah berpangkat tinggi. Seorang pegawai tinggi pula hanya pandai berbahasa Inggeris dan Melayu yang dikuasainya sebagai bahasa kandung. Kalau kita ke tempat lain, di Balik Pulau misalnya, terdapat pula penduduk Melayu yang hanya tahu menggunakan bahasa kandungnya sahaja dan tidak tahu menuturkan bahasa lain. Terdapat pula penduduk Cina di Paya Terubung yang hanya tahu bahasa Cina sahaja dan tidak yang lain.

Apakah sebabnya setengah manusia perlu bertutur lebih dari satu bahasa dan setengahnya tidak? Di Pulau Pinang keadaan begini timbul kerana mereka berbilang kaum, jadi setiap kaum mengekalkan bahasanya untuk berhubung dengan anggota masyarakatnya. Di samping itu mereka perlu menuturkan bahasa lain untuk berhubung dengan anggota masyarakat dari kaum lain. Ternyata di sini bahawa di bandar Pulau Pinang keadaannya memang menyenangkan. Sesiapa sahaja akan dapat mempelajari dua tiga bahasa dengan mudah. Tetapi mereka yang tinggal di tempat lain di pulau itu, tidaklah mengetahui bahasa lain daripada bahasa kandungnya untuk berhubung dengan kaum lain, kalau adapun, mungkin melalui bahasa Melayu pasar. Hal ini memberitahu kita kenapa manusia mesti mempelajari bahasa lain dari bahasa kandungnya. Pokoknya, berjuta-juta manusia cuba mempelajari bahasa lain kerana ingin berhubung dengan orang lain. Seseorang yang masuk ke dalam sesebuah masyarakat baharu itu tentu dianggap asing. Selalunya keasingan ini akan beransur hilang apabila dia telah fasih dalam bahasa yang dituturkan oleh masyarakat yang menerimanya itu.


Penerimaan ke dalam Masyarakat Baharu

Perhubungan dalam sesuatu masyarakat itulah yang akan dapat menghilangkan segala ciri keasingan yang dirasai oleh seseorang asing itu. Orang asing itu tadi sentiasa dikelilingi lingkungan yang asing. Oleh itu dia akan mencuba untuk mengatasi masalah ini dengan menghilangkan unsur keasingan ini dan menjadi salah seorang anggota dari masyarakat baharu itu pula. Dalam hal ini memang boleh didapati bahawa ada orang yang tidak pernah bergaul dengan anggota masyarakat lain merasa tidak perlu mencuba untuk menghilangkan unsur keasingan ini. Ada penduduk mendatang di Malaysia yang boleh hidup terasing. Mereka tinggal dalam masyarakat kaum sendiri, bersekolah, bekerja dan bergaul dengan tidak sedikit pun memerlukan penggunaan bahasa Melayu. Pernah ditemui seorang tua Tamil di Pulau Pinang yang bekerja sebagai nelayan yang pergi ke laut berseorangan pada tiap-tiap hari. Dia menjual hasil tangakapannya kepada seorang India lain. Walaupun umurnya sudah 53 tahun (menurut kawannya kerana dia tidak memahami bahasa Melayu) dia tidak tahu bertutur bahasa Melayu sepatah pun. Dia tidak pernah dan tidak perlu berhubung dengan penutur lain dari penutur bahasa Tamil dalam seumur hidupnya.


Peringkat Pencapaian yang Perlu

Walau bagaimanapun, tentu diakui ramai, bahawa keperluan mempelajari sesuatu bahasa asing itu dan juga peringkat kecapaiannya bergantung pada dorongannya sendiri. Jelas sekali dorongan mempelajari bahasa Melayu sebagai keperluan kelulusan untuk melanjutkan pelajaran dan mendapat pekerjaan atau penetapan dalam jawatan menjadi faktor mendorong kaum lain mempelajari bahasa Melayu. Ramai pula yang terdorong mempelajari bahasa Inggeris untuk tujuan yang sama. Bagi ahli politik kefasihan dalam bahasa Inggeris memberi kemungkinan yang lebih luas dalam tindak-tanduknya. Ada pula golongan yang mempelajari bahasa untuk mengeksploit, misalnya penjajah Inggeris yang datang ke Tanah Melayu dahulu mempelajari bahasa Melayu semata-mata u tuk mengeksploit ekonomi dan pentadbiran di Tanah Melayu. Tetapi dalam mempelajari sesuatu bahasa itu, maka amat mustahak seseorang itu mengekalkan dorongan pembelajaran itu. Hanya mereka yang betul-betul berminat dan berkesanggupan serta yakin bahawa bahasa itu akan membantunya maka dia akan berjaya dalam usaha tersebut.

Memang benar bahawa bahasa kedua itu amat penting untuk perhubungan, walaupun secara amnya perhubungan masih boleh berlaku tanpa bahasa. Sebenarnya perhubungan tanpa bahasa itu amat terhad. Hanya mereka yang ingin terus tinggal sebagai orang asing dalam sebuah mas arakat itu sahaja yang akan terus tidak memperdulikan keperluan bahasa kedua itu. Walaupun kemahiran dalam bahasa kedua itu dapat dianggap opsyenal, tetapi ternyata bahawa perhubungan akan menjadi terhad dan kaum pendatang itu tidak akan dapat menjadi sebagai sebahagian dari masyarakat itu tanpa menggunakannya. Satu contoh kecil, marilah kita lihat masyarakat Gurkha yang dahulunya bekerja sebagai askar upahan Inggeris di Malaysia. Sekarang ada yang tinggal di Malaysia berjaja bermacam jenis manik dan batu perhiasan di kaki lima kedai dalam bandar-bandar besar. Mereka memang suatu masyarakat yang terasing. Mereka tidak pernah mencuba bercampur dan tidak pernah menggunakan bahasa Melayu untuk berhubung dengan masyarakat tempatan, selain daripada hubungan jual beli yang amat terhad itu. Akibatnya, mereka terus terasing. Pencapaian bahasa Melayu mereka amat rendah sekali.


PEMELIHARAAN BAHASA KANDUNG

Dalam usaha mempelajari bahasa kedua untuk sesuatu tujuan, maka selalulah terdapat konflik di antara pemeliharaan bahasa kandung, dan pembelajaran bahasa kedua. Dalam sebuah kajian untuk ijazah Sarjana Sastera di Universiti Malaya, pada tahun 1971, Mohd. Khalid cuba melihat keperluan pemeliharaan bahasa Melayu sebagai bahasa kandung di kalangan mereka yang mempelajari bahasa Inggeris sebagai bahasa kedua di sekolah. Dari golongan pelajar yang dikaji, tidak ada mereka yang betul-betul lancar dalam kedua-dua bahasa tersebut. Mereka hanya lancar dalam bahasa kandung dan mereka bergantung kepada bahasa Inggeris, untuk kepentingan akademik. Kemahiran kedwibahasaan sebenarnya mempunyai pertalian rapat dengan pola-pola persekolahan yang telah dialami oleh pelajar tersebut. Dalam kebanyakan hal mereka salah faham dalam menganggarkan darjat kemahiran mereka. Umumnya terdapat mereka yang menyangka bahawa mereka itu lebih atau kurang mahir dalam bahasa Inggeris. Walau bagaimanapun boleh dibuat satu generalisasi bahawa kemahiran mereka dalam bahasa kandung memang cukup baik, manakala kemahiran mereka dalam bahasa kedua tidaklah sempurna.

Kedominan bahasa kandung dalam suasana tidak formal didapati wujud dalam kalangan ramai pelajar itu. Mereka selalu terpaksa mematuhi tekanan sosial yang terbit dari kedominan itu. Fakta ini juga merupakan sebab yang membolehkan terpeliharanya bahasa kandung di kalangan pelajar-pelajar tersebut sungguhpun terdapat serangan yang hebat dari bahasa kedua dalam suasana formal yang dialami oleh mereka ketika menjalani pengajian di universiti. Di samping itu, nilai peribadi mereka terhadap bahasa kandung menjadi faktor pendorong yang kuat ke arah pemeliharaan bahasa tersebut.

Kedominan bahasa Melayu dalam masyarakat di sekitar pelajar ini jelas menjadi faktor dalam pemeliharaan bahasa kandung itu. Mereka memberi alasan bahawa pendirian mereka disebabkan adanya keadaan ini. Sehingga kedominan bahasa Melayu wujud sebagai kenyataan dalam semua bidang hidup dalam negara ini, maka selama itulah mereka perlu menjadi dwibahasa untuk menampung keperluan mereka dalam semua bidang. Oleh kerana pentingnya faktor-faktor sosiobudayanya dalam sebarang fenomena mengenai bahasa dan penggunaannya, maka dalam mencari sebab-sebab mengapa setengah golongan penutur mempunyai nilai dan sikap tertentu terhadap bahasa, maka kita harus mengingati suasana sosial dan faktor- faktor yang wujud. Oleh sebab nilai ekonomi, sosial serta ilmiah yang tinggi diberi pada bahasa Inggeris, maka itulah sebabnya ia wujud mempersaingi bahasa Melayu. Penutur akan terus terpaksa mempelajarinya bagi mencapai cita-cita ekonomi dan sosial mereka. Kalau kedominan itu tidak dapat diatasi oleh bahasa Melayu maka selama itulah ia akan terus memberi kuasa dorongan dan sikap yang positif bagi orang mempelajari bahasa Inggeris.

Akhirnya boleh dikatakan bahawa di kalangan pelajar yang dikaji itu, bahasa kandung memang sedia dominan dan penggunaannya sentiasa terpelihara sungguhpun tidak semua suasana yang disertai oleh pelajar itu mempunyai corak kedominan bahasa kandung yang serupa dengan keadaan pada keluarga masing-masing. Selagi kedominan bahasa Melayu terpelihara dalam keluarga, besar kemungkinannya bahawa bahasa itu akan terpelihara penggunaannya sekalipun lebih ramai orang Melayu menjadi dwibahasa atau sekalipun masyarakat di sekitar keluarga memperlihatkan kedominan bahasa itu pada dokumen sahaja. Tetapi, kalau corak kedominan itu berubah dalam suasana keluarga dan rumahtangga, besar kemungkinannya bahawa penutur-penutur yang dwibahasa tidak lagi akan mengetahui bahasa mana bahasa kandung mereka. Dalam perkataan lain, sekiranya perkara tersebut berlaku, mungkin akan terdapat peralihan atau perubahan dalam corak kedominan bahasa- bahasa dan bahasa Melayu tidak akan terpelihara sebagai bahasa dominan lagi. Hipotesis ini dapat kita sokong dengan apa yang dapat kita perhatikan di kalangan penutur Melayu. Ramai juga penutur Melayu yang sudah merasa penguasaan bahasa kandungnya lemah kerana perkembangan bahasa itu semasa kecilnya ditekan dengan terjadinya pemakaian bahasa Inggeris yang berleluasan di dalam suasana keluarga.


FAKTOR-FAKTOR MEMBANTU PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA

Selama ini kita hanya berbincang mengenai teori bagaimana bahasa kandung dikuasai oleh kanak-kanak dan bahasa kedua dipelajari oleh orang dewasa. Setelah melihat faktor-faktor sosial dan biologis yang membantu dan menghalang penguasaan dan pembelajaran bahasa, marilah kita cuba melihat kemungkinan kejayaan usaha mempelajari sesuatu bahasa kedua tersebut.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahawa ada beberapa unsur tertentu perlu wujud bagi menghasilkan pembelajaran bahasa kedua:

a. Motif
b. Keupayaan
c. Sikap
d. Peluang
e. Lingkungan

Dalam hal ini kita menganggap bahawa segala pelajaran yang dipakai untuk mengajar itu cukup baik dan gurunya terlatih. Pendek kata semua faktor lain sempurna. Dengan itu baharulah kita dapat melihat sama ada kejayaan pembelajaran itu dapat dicapai atau tidak.


Motif

Motif itu timbul dari tujuan kenapa seseorang itu ingin mempelajari bahasa kedua. Kalau ada tujuannya maka lahirlah motif yang mendorongnya. Di Malaysia ini boleh dikatakan semua pelajar mempunyai motif tinggi untuk belajar bahasa Melayu kerana ianya Bahasa Nasional dan juga menjadi keperluan untuk memegang jawatan dalam sektor kerajaan. Ia juga penting untuk pelajaran tinggi serta keperluan sosial yang tertentu. Jadi motif itu timbul dari tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Demikian juga para pelajar dan orang-orang tertentu mempunyai motif untuk belajar bahasa Inggeris, untuk mendapat peluang pekerjaan dan melanjutkan pelajaran ke universiti di luar negeri. Itulah sebabnya mereka mendapat motif untuk mempelajari bahasa-bahasa tersebut. Motif itu juga mungkin terbit dari keinginan memelihara identiti dan budaya sesuatu kaum, seperti yang berlaku di kalangan masyarakat Cina yang mempelajari bahasa Mandarin.


Keupayaan

Mungkin pernah kita mendengar bahawa ada orang yang pandai bertutur banyak bahasa. Begitu juga sebaliknya, ada orang yang tidak berjaya mempelajari bahasa lain walaupun diberi pengajaran yang rapi. Ini bermakna ada orang yang mempunyai keupayaan dalam mempelajari bahasa dan ada orang yang tidak. Keupayaan ini berhubung rapat dengan kecerdasan otak seseorang itu. Ada orang yang telah dengan sendirinya mempunyai kecerdasan otak dan berkeupayaan tinggi dalam mempelajari bahasa dan ada yang tidak mampu. Walau bagaimanapun, seseorang itu berkeupayaan mempelajari bahasa apa pun. Tetapi peringkat kejayaannya tentulah berlainan. Selalunya, keupayaan ini semakin berkurangan apabila orang itu menjadi lebih lanjut umurnya, iaitu apabila ia telah melangkaui jangka masa yang subur untuk perkembangan bahasa tersebut secara semulajadi. Misalnya, kanak-kanak yang pindah dari satu masyarakat ke suatu masyarakat yang menuturkan suatu bahasa lain, akan dengan mudah dapat mempelajari bahasa yang baharu ditemuinya itu. Tetapi proses itu akan menjadi lebih sukar bagi orang yang sudah meningkat umurnya. Kanak-kanak akan lebih mudah mempelajari bahasa asing itu, tetapi kita boleh melihat dengan nyata bagaimana orang-orang dewasa gagal mempelajari bahasa. Ramai di antara penduduk Malaysia pada hari ini datang dari negara lain, seperti Cina dan India. Kebanyakan dari kaum pendatang ini masih belum lagi dapat menguasai bahasa Melayu di Malaysia. Mungkin salah satu dari sebabnya ialah kerana pembelajaran bahasa Melayu sebagai bahasa kedua itu telah terhalang sebab mereka sudah kehilangan keupayaan. Pendek kata mereka hanya cuba mempelajarinya setelah dewasa.


Sikap

Selalunya motif dan keupayaan ini dibantu dengan sikap dalam mempelajari sesuatu bahasa itu. Mereka yang merasa bahawa sesuatu bahasa lain itu penting dan mereka mesti mempelajarinya akan mempunyai sikap yang sihat dalam mempelajari bahasa tersebut. Dalam sikap ini kita dapat melihat dari segi psikologi sama ada seseorang itu merasa bahawa pembelajaran bahasa itu akan mendatangkan faedah kepadanya, serta tidak mengancam kedudukan atau identitinya. Kita akan dapat melihat ada ramai di antara para pentadbir Inggeris di Tanah Melayu sebelum merdeka, yang tidak merasa perlu mempelajari bahasa Melayu. Sikap mereka mungkin tidak memandang yang bahasa Melayu itu memberi faedah, sementara itu ada pula golongan yang mungkin menentang, kerana memikirkan identiti mereka akan terancam dengan mempelajari bahasa lain yang akhirnya menyerap mereka ke dalam kebudayaan bahasa yang dipelajari itu.


Peluang

Kita mungkin mudah memahami hal peluang ini. Misalnya, ramai pelajar Melayu sekarang yang tinggal di sekolah-sekolah luar bandar yang mungkin tidak mempunyai peluang untuk belajar bahasa Inggeris. Kalau diajar bahasa Inggeris, selalunya peluang itu tidaklah sempurna. Lagipun suasana di sekelilingnya tidak menyokong pembelajaran di luar kelas. Mereka lulus dari sekolah tanpa pengetahuan bahasa Inggeris yang lengkap. Kalaulah mereka mendapat peluang untuk mempelajari bahasa Inggeris, mungkin mereka juga akan dapat menguasainya. Jadi peluang juga merupakan satu faktor penting dalam mempelajari bahasa. Kadang-kadang peluang ini mungkin tidak wujud disebabkan perbelanjaan yang mahal yang mungkin tidak mengizinkan orang itu belajar. Kadang- kadang ketiadaan guru, buku teks, masa dan peralatan yang sempurna akan menghalang pembelajaran bahasa tersebut. Jadi untuk menjayakan pembelajaran bahasa itu maka perlulah adanya peluang untuk belajar, baik dari dalam mahupun dari luar kelas.


Lingkungan

Lingkungan di mana pelajar itu tinggal, dalam bentuk masyarakat dan individu dan suasana politik tentu sekali akan dapat juga membantu pencapaian dalam mempelajari bahasa. Misalnya, masyarakat yang bersimpati tentu akan membantu mendorong seseorang itu belajar. Di Malaysia sekarang seluruh lingkungan di negara ini bersimpati, malah menggalakkan pembelajaran bahasa Melayu. Tetapi mungkin lingkungan keluarga akan menghalangnya. Kalau ada individu yang tidak bersimpati dengan pembelajaran bahasa Melayu, maka anak yang balik dari sekolah harus tidak dapat dorongan di dalam keluarga. Mungkin ini kadang-kadang berlaku dengan tidak disedari. Ibu bapa yang ingin anak-anaknya belajar bahasa Cina harus menyuruh anaknya belajar bahasa Cina pula di rumah dan dihalang mempelajari bahasa Melayu. Mungkin juga ibu bapa itu tidak fasih berbahasa Melayu dan suka pula memakai bahasa Inggeris atau bahasa lain. Dengan itu lingkungan keluarga seperti itu tidak boleh dianggap sebagai lingkungan yang dapat membantu dalam mempelajari bahasa Melayu. Jadi kanak-kanak itu tidak hidup dalam lingkungan yang sihat untuk belajar bahasa Melayu.


KEMUNGKINAN KEJAYAAN MEMPELAJARI BAHASA KEDUA

D.N. Larson dan W.A. Smalley (1972) membutirkan tujuh perkara yang dapat memberi sedikit penjelasan mengenai kemungkinan berhasilnya pembelajaran bahasa kedua itu.

1. Pelajar yang mempunyai keupayaan yang tinggi, serta diberi peluang yang baik dan mempunyai motif yang kukuh dan sikap yang sihat serta belajar dalam lingkungan masyarakat yang mendorong, maka usahanya dalam pembelajaran bahasa itu tentu sekali akan berjaya.

2. Seorang yang mempunyai motif tinggi dan diberi peluang baik, tetapi tidak mempunyai keupayaan yang tinggi terhadap pembelajaran bahasa, akan mencapai kejayaan yang baik juga, lebih-lebih lagi kalau masyarakat sekelilingnya itu mendorongnya.

3. Seorang yang mempunyai motif yang tinggi serta ada sikap dan keupayaan baik, tetapi kurang berpeluang, harus juga mencapai kejayaan yang agak baik kalaulah ada individu di sekelilingnya yang memberi sokongan kepada pembelajarannya itu.

4. Kalau seorang pelajar itu berpeluang baik untuk belajar bahasa dan mempunyai keupayaan tinggi, maka kejayaannya bergantung pada motifnya. Motifnya itu akan bergantung kepada lingkungan kebudayaan di sekelilingnya. Hanya mereka yang dapat mengatasi masalah ini yang berjaya.

5. Kalau seorang pelajar itu bermotif tetapi tidak mempunyai keupayaan, sikap dan peluang untuk belajar maka dia harus gagal. Kalaulah kebudayaan dan masyarakat sekelilingnya membantu maka ada juga sedikit harapan untuk mendapat sedikit kejayaan.

6. Kalau seorang pelajar itu mendapat peluang baik untuk belajar bahasa tetapi tidak mempunyai keupayaan dan motif, maka dia akan gagal. Peluang yang diberi kepadanya akan sia-sia. Kebudayaan yang menyokong pembelajaran itu juga akan membosankannya.

7. Pelajar yang berkeupayaan tinggi, tetapi tidak bermotif dan juga tidak diberi peluang akan gagal. Walau bagaimanapun lingkungan yang menyokong mungkin membantunya mencari motif, kalau tidak dia akan gagal.

Faktor-faktor ini perlulah wujud sebelum kejayaan sepenuhnya tercapai. Tetapi, sekiranya faktor-faktor ini tidak menyokong maka pelajar itu tentu akan gagal. Faktor-faktor yang wujud dengan tidak sepenuhnya harus menyebabkan pencapaian yang berbeza-beza.
Dikutip dari Posted by Prof. Emeritus Abdullah Hassan, MA (Mal), Ph.D. (Edin) at 8:24 AM

COMMUNITY LANGUAGE LEARNING

a. Teori Belajar
Berdasarkan pengalaman Currant, dia membuat kesimpulan bahwa teknik konseling dapat diterapkan dalam belajar pada umumnya dan pengajaran bahasa secara khusus (Komunitas belajar bahasa).
Ada dua pendapat tentang Community Language Learning (Komunitas Belajar Bahasa) yakni:
Yang pertama berpandangan bahwa belajar putative popular dalam budaya barat, dalam pandangan ini proses intelektual dan factual saja yang dianggap tujuan utama belajar.
Yang kedua pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran hewan dimana peserta didik menjadi pasif dan keterbatasan mereka terpisah. Belajar terjadi bila adanya komunikasi antara guru dan siswa. Proses ini dibagi menjadi lima tahap dan dibandingkan dengan perkembangan ontogenetik anak yakni;
a. Tahap pertama yaitu kelahiran kealam dunia ini.
b. Tahap kedua yaitu kemampuan pembelajar meningkat, siswa sebagai
anak mulai mendapatkan kebebasan dari orangtua.
c.. Tahap ketiga yaitu pembelajar berbicara secara bebas, mungkin perlu
untuk menegaskan identitas diri.
d. Tahap keempat yaitu pembelajar dapat menerima kritik.
e. Tahap kelima yaitu anak telah menjadi dewasa.
b. Prinsip dasar CLL
Dalam pelaksanaan metode ini, guru mengganggap siswanya sebagai ―whole person/ pribadi menyeluruh‖. Whole-person learning maksudnya adalah guru tidak hanya mempertimbangkan perasaan dan kepandaian siswa, tetapi juga mempunyai pemahaman tentang perasaan siswa, reaksi fisik, reaksi protektif instingtif, dan keinginan untuk belajar.
Curran menyimpulkan bahwa teknik konseling dapat diterapkan dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa.Tugas utama konselor agar pelajar merasa aman dari ancaman dan kecemasan. Ada berbagai gagasan mengenai persyaratan psikologis untuk menjadi pembelajar sukses termasuk dalam singkatan SARD.S (Security) artinya keamanan,
A (attention/aggression) artinya perhatian dan agresi. CLL mengakui hilangnya perhatian sebagai indikasi kurangnya keterlibatan siswa dalam belajar. Agresi berfungsi dengan cara bagaimana cara seorang anak setelah belajar sesuatu mengambil alih dan menunjukkan kekuatan apa yang telah dipelajari dengan menggunakan pengetahuan baru sebagai alat untuk dirinya sendiri.
R sebagai retensi atau refleksi.Jika seluruh siswa terlibat dalam proses belajar mengajar maka apa yang dipertahankan lalu diinternalisasikan menjadi bagian pengalaman baru siswa dalam bahasa asing.Refleksi merupakan identifikasi secara diam-diam dalam rancangan pembelajaran siswa.
D sebagai diskriminasi yakni ketika peserta didik telah mempelajari materi, lalu mereka siap untuk memecahkan masalah mengatasinya dan melihat suatu hal berkaitan satu sama lainnya.Proses diskriminasi menjadi lebih halus dan akhirnya memungkinkan siswa untuk menggunakan bahasa untuk menggunakan bahasa untuk tujuan komunikasi di luar kelas.
Tujuan penggunaan metode ini agar siswa belajar bagaimana menggunakan bahasa target secara komunikatif. Siswa juga belajar bagaimana belajar sendiri dan bertanggung jawab untuk hal ini, dan belajar bagaimana belajar bersama orang lain.
Peran utama guru adalah sebagai konselor, artinya guru mengenali bagaimana ancaman situasi belajar yang baru dapat terjadi pada siswa, sehingga guru dapat memahami dan memberi dukungan untuk siswanya dalam usahanya menguasai bahasa.
c. Jenis Kegiatan Belajar Mengajar
Communicative Language Learning merupakan penggabungan dari belajar inovatif dengan belajar konvensional yakni:
1. Terjemahan. Siswa membisikan pesan yang ia akan ucapkan, guru
menerjemahkan ke dalam bahasa target dan pelajar mengulangi
terjemahan guru.
2. Kelompok Kerja. Siswa dapat terlibat dalam tugas-tugas kelompok seperti
diskusi kelompok dengan satu topik, menyiapkan percakapan, menyiapkan
ringkasan topik untuk presentasi ke kelompok lain, menyiapkan sebuah
cerita yang akan disajikan kepada guru dan seluruh siswa.
3. Merekam. Siswa merekam percakapan dalam bahasa target.
4. Transkripsi. Siswa menuliskan ucapan-ucapan dan percakapan mereka
lalu direkam untuk dipraktekkan dan meanalisis bentuk-bentuk linguistic.
5. Analisis. Siswa menganalisis dan mempelajari transkripsi kalimat bahasa
target untuk difokuskan pada penggunaan leksikal tertentu atau pada
penerapan aturan tata bahasa tertentu.
6. Refleksi dan Observasi. Siswa mencerminkan dan melaporkan
pengalaman di kelas mereka.Sebagai kelas atau dalam kelompok.Hal ini
terjadi sebagai ungkapan perasaan satu sama lain dan kepedulian
terhadap sesuatu untuk dikatakan dan lain sebagainya.
7. Mendengarkan. Siswa mendengarkan monolog oleh guru yang melibatkan
unsur-unsur dari mereka dalam interaksi di kelas.
8. Percakapan bebas. Siswa terlibat percakapan bebas dengan guru atau
siswa lain.Hal ini mungkin termasuk dalam diskusi tentang apa yang
mereka pelajari serta perasaan mereka tentang apa yang telah dipelajari.
d. Contoh Pelaksanaan pembelajaran
1. Satu kelas terdiri dari 6 – 12 siswa yang duduk dengan membentuk
lingkaran.
2. Guru memberi salam, mengenalkan diri dan mempersilakan siswa saling
berkenalan.
3. Guru memberi tahu siswa tentang apa yang akan dilakukan, menjelaskan
prosedur dan menentukan batasan waktu.
4. Guru berdiri di luar lingkaran dari siswa berada.
5. Tape recorder disiapkan untuk merekam ucapan siswa (yang direkam
hanya ucapan bahasa target yang sedang dipelajari yang nantinya akan
ditranskripsikan).
6. Siswa melakukan percakapan. Seorang siswa mengucapkan dengan keras
pesan menggunakan bahasa pertama. Guru berdiri dibelakang siswa
tersebut.
7. Guru memberikan pesan dalam bahasa target.
8. Siswa mengulangi pesan dengan suara yang keras untuk teman-teman
dengan menggunakan bahasa kedua.
9. Proses ini dilakukan berulang-ulang serta direkam. Dalam proses ini, guru
juga memberi tahu sisa waktu untuk percakapan.
10. Setelah selesai siswa diajak membicarakan tentang perasaan mereka
selama percakapan, guru memahami dan menerima semua yang
diungkapkan siswa.
11. Ucapan-ucapan ini dimainkan lagi, diterjemahkan kedalam bahasa
pertama.
12. Siswa disuruh membuat setengah lingkaran menghadap papan tulis dan
ucapan-ucapan yang telah dirakam tadi di transkripsikan.
13. Pada kegiatan Human ComputerTM, siswa memilih frase mana yang
ingin mereka latih pengucapannya. Guru mengikuti apa yang diinginkan
siswa, mengulangi frase sampai siswa merasa puas dan berhenti.
14. Pada pertemuan yang lain, siswa juga bisa bekerjasama dalam kelompok
kecil (tiga orang).
15. Jika ada kesalahan, guru memberikan koreksi dengan cara mengulangi
dengan benar kalimat yang telah dibuat siswa.
Simpulan

Community Language Learning (Komunitas belajar bahasa) merupakan metode yang paling responsive dari segi sensitivitas untuk pelajar.Tujuan komunitas ini terhambat oleh jumlah dan pengetahuan sesama peserta didik.Guru harus sensitif terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua.Guru harus siap menerima bahkan mendorong para siswa untuk bersifat agresi karena ia berusaha untuk bebas.Guru mengajar tanpa bahan konvensional tergantung pada topik siswa untuk memotivasi kelas.
Sekelompok peserta didik duduk membentuk lingkaran dengan guru berdiri di luar lingkaran; siswa berbisik dalam bahasa asli sedangkan silabus yang menjadikan tujuan menjadi jelas dan evaluasi sulit dicapai.Hal ini fokus pada kelancaran bukan pada ketepatan yang menyebabkan kontrol tidak memadai dari bahasa sasaran.Manfaat positif dari metode ini yakni berpusat pada peserta didik dan menekankan sisi humanistik belajar bahasa dan bukan hanya dimensi bahasanya.

SELAMAT DATANG

Blog ini dibuat sekedar pengen mengembangkan dan meningkatkan keterampilan dalam bidang tulis menulis.Semoga bermanfaat.Amien.