Aplikasi
Pada bab ini kita berusaha untuk membahas
transisi sulit dari teori ke praktik. Hal ini akan dilakukan dengan menggambarkan
apa yang muncul kemudian menjadi sebuah program pengajaran bahasa kedua (ESL)
yang “ideal” istilah umumnya. Program ini berisi beberapa komponen, sebagian
berupa (obligatory) kewajiban dan sebagian lainnya berupa (optional) pilihan.
Kebanyakan program pengajaran bahasa, jika mereka
dipecah-pecah, terbagi kedalam “Empat Kemampuan”, speaking, listening, reading,
dan writing. Bukti dari beragam sumber mengindikasikan bahwa ini mungkin bukan
divisi/pembagian yang optimal.
Pertama, dalam setiap program yang
telah saya ikuti, guru-guru yang ingin memfokuskan hanya satu atau bahkan dua (lisan
dan tulisan) dari keempat kemampuan bahasa tersebut, mengeluhkan bahwa tiap-tiap
divisi/pembagian tersebut sangat dibuat-buat. Mereka menemukan bahwa tak
mungkin hanya focus pada satu kemampuan dan mengabaikan kemampuan lainnya.
Kedua, Oller dalam rangkaian studi
melaporkan bahwa sulitnya menemukan variansi magna yang unik di dalam seluruh
uji bahasa yang berbeda yang telah dipelajari dan yang dapat ditandai oleh
siapa saja yang mengenali ke empat kemampuan tersebut (Oller 1976,p.144; Oler
and Honofotis 1976). Dengan kata lain bahwa tidak ada bukti jelas adanya pengaruh
suatu factor “bacaan”, atau adanya suatu factor “ucapan”, dll. Juga tidak ada bukti adanya factor modalitas
lisan bertentangan dengan factor modalitas tulisan. Penelitian-kami pada
“Monitor Teory” juga konsisten dengan ide bahwa empat kemampuan bahasa bukanlah
pembagian/divisi yang primer/utama. Oller juga telah mencatat bahwa analisa
kesalahan menyatakan tingginya suatu tingkat hubungan antara struktur yang
muncul dalam sejumlah tugas-tugas yang berbeda, seperti menterjemahkan, meniru
ucapan, dan ucapan-ucapan spontan.
Ketika generalisasi ini berdasarkan
pada data yang diperoleh sebelum “Monitor” melaporkan, hasilnya hampir sama
dengan generalisai ini. Kami menemukan kemiripan kesulitan mengurutkan grammatical morphems yang dihasilkan
oleh performa SL orang dewasa dalam melakukan “sejumlah tugas- tugas yang
berbeda”, seperti yang dijabarkan di atas, yaitu tugas yang umumnya mereka
dapatkan lebih sulit dibanding dengan tugas mempelajari system.
Model teoritikal kemudian
mengimplikasikan bahwa program pengajaran bahasa akan mempunyai dua komponen
utama, yaitu pemerolehan (acquisition) dan pembelajaran (learning), yang
menggunakan bagan NP dan VP sebagai berikut.
Program
Acquisition/Pemerolehan
Pembelajaran/Learning
Intake Fluency Rules of thumb Structure of languge (optional) (obligatory) (learnable
rules for editing) (language appreciation)
-
_ Communication strategies Meaningful/communi Routines/patterns cative exercises (short term) Limited error
correction Extensive reading Natural method Intercambio Role-Playing, games,
etc. Total
Physical Response Writing
_ _
intake
Fig. A
Second Language Teaching Program
Acquisition / Pemerolehan
Model teoritis tersebut jelas sekali
menunjukkan bahwa bagian yang terpenting dari keseluruhan program tersebut
adalah pada bagan-intake yang berada di
bawah bagan-acquisition. Dapat disimpulkan bahwa akuisisi bahasa lebih terpusat
daripada pembelajaran bahasa itu sendiri dalam performa SL. “intake” itu
sederhana, dimana akuisi bahasa datang, disitu pula sub-perangkat dari
input kebahasaan berusaha membantu si pemeroleh mengakuisi bahasanya. Kasus
yang muncul nantinya adalah bahwa fungsi
utama dari bahasa ke dua (SL) di dalam kelas adalah untuk menyiapkan intake-nya
guna mengakuisisi bahasa tersebut. Tentunya ini menjadi tugas yang sangat
sulit, orang bisa saja berkata bahwa
tantangan utama yang dihadapi di lapangan dari penggunaan bahasa adalah untuk
menciptakan materi-materi dan konteks-konteks bahasa yang dilengkapi dengan
intake-nya.
Pada makalah lain (Krashen, 1978b)
berusaha mendefinisikan intake, dan
akan mereview dengan singkat definisi ini beserta buktinya yang mengarah pada
hal tersebut. Dia berasumsi bahwa sesuatu
yang telah orang lain buat, bahwa “caretake”speech , adalah bahasa yang
ditujukan pada anak-anak yang mengakuisisi bahasa pertama mereka, yang berisi
sebuah proporsi tinggi pada intakenya. Dan menyarankan bahwa dengan
mengamati property penting caretaker speech akan tiba pada beberapa definisi
dari intake itu sendiri. Sebagaimana yang banyak peneliti telah
tunjukkan (Snow and Ferguson, 1977), caretaker/ para pemerhati tidak dengan
sadar bermaksud untuk mengajarkan bahasa; mereka sebenarnya lebih konsern
dengan komunikasi. Meski demikian ada alasan yang mendukung bahwa para pemerhati
ucapan itu sebenarnya adalah seseorang yang mumpuni dalam mengajarkan bahasa
meskipun tidak selalu terlihat seperti penguji bahasa pertama kali.
Menurut literature pada caretaker
speech (sumber utamanya termasuk kesimpulan dalam tulisan Clark dan Clar, 1977),
dan sumber yang paling baik adalah yang di edit oleh Snow dan Ferguson, 1977).
Caretaker Speech mempunyai beberapa karakteristik
sebagai berikut :
1.
Caretaker Speech biasanya Mengikuti prinsip-prinsip “Here and now”; pemerhati berbicara
tentang apa yang sedang terjadi di lingkungan sekitar anak-anak pada waktu itu.
Yang paling signifikan tentang prinsip ini adalah bahwa si anak diberi dukungan
extra-linguistik untuk membantu dia dalam memahami apa yang pemerhati ucapkan
padanya.
2.
Ciri-ciri ini awal sintaktiknya sederhana, dan kemudian
terus menjadi kompleks seolah-olah si anak memperolehnya di dalam linguistik
orang dewasa. Ciri-ciri ini sebenarnya tidak sesederhana seperti itu, meski
demikian para caretaker tidaklah menyederhanakan tujuan input mereka pada struktur
selanjutnya, mereka berharap si anaklah yang memperolehnya kelak. Singkatnya input
pemerhati muncul menjadi “roughly tune/nada
berkesan” untuk kemampuan linguistic anak. Kita melihatnya sangat positif,
tetapi sesungguhnya tidak tinggi korelasinya antara kompleksitas input linguistik
dan kemampuan linguistic dalam diri anak-anak tersebut. (Newport, and Gleitman,
1977;Cross, 1977;Chapter 9, this volume).
3.
Caretaker Speech adalah komunikasi. Seperti yang
disebutkan di atas, tujuan dari caretaker speech bukanlah mengajarkan bahasa,
tujuannya mereka adalah memagnai pesan dan seringkali mengarahkan si anak untuk
bertingkah laku dalam cara tertentu. Bisa dikatakan bahwa ucapan caretaker
sangat efektif dalam mendorong akuisisi bahasa (setidaknya literaturnya
konsiten dengan pandangan ini; Cross, 1977; Newport et al, 1977).
Dari ciri-ciri ini, bisa dihipotesakan bahwa intake itu adalah input yang paling pertama
dari semua input-input yang dipahami. Lebih dalam lagi, komprehensi/pemahaman mungkin berada di
hati dari proses pemerolehan bahasa; mungkin pula kita memperolehnya dengan
memahami bahasa dengan tingkat kompetensi “a little beyond” atau istilahnya sedikit
tertinggal”. Komprehensi ini kita lakukan dengan bantuan memahami konteks
extra-linguistik atau pengetahuan dunia kita. (Dalam istilah formalnya jika
sebuah akuisisi berada pada tahap i dalam
akuisisi syntax, dia dapat melanjutkannya ke tahap i + 1 dengan memahami input pada kompleksitas level tersebut). Selanjutnya, bahwa optimal input termasuk dalam struktur si
pemeroleh yang “a little beyond / sedikit tertinggal” kompetensinya itu, dan
yang berkeinginan untuk mengakuisisi kelanjutan bahasa tersebut pada yang lebih
kompleks lagi.
Kelanjutan ini bagaimanapun juga tidak perlu benar-benar cocok
bagi pengembangan kemampuan si pemeroleh: “rough tuning/nada berkesan” mungkin
saja optimal. Tujuan sederhananya untuk i
+ 1 mungkin kurang efisien sebagaimana tujuan orang bisa hilang, sedikit
review perlu disiapkan, dan dimana ada variasi di dalam rata-rata akuisisi,
kekuatan para pemeroleh mungkin diakomodasi oleh input yang sama (untuk lebih detailnya, lihat hal 9). selanjutnya
bahwa intake itu bersifat “alami”,
yang artinya bahwa ini adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi.
Orang dapat dengan mudah menganalisa berbagai aktivitas kelas
SL guna mengetahui seperti apa dalamnya yang mereka persiapkan untuk input
optimal, seperti yang dijabarkan di atas. “Percakapan
bebas” sederhana sering kali akan gagal layaknya input optimal, sepertinya ini
sering tak dipahami. Kegagalan dari percakapan bebas mengkualifikasi seperti yang
intake anggap bahwa pengajaran SL melibatkan lebih dari hanya sekedar berbicara
kepada murid-murid tentang topic yang menarik saja, suatu profesi yang telah di
ketahui sejak hal ini dimulai. Para tata usaha kadang-kadang juga
beranggapan bahwa menjadi “seorang penutur asli” dari sebuah bahasa dianggap
bahwa orang tersebut tentu menjadi guru bahasa tersebut. Analisa ini
menunjukkan mengapa hal ini tak perlu benar.
Mechanical drills/Bor mekanik juga gagal sebagai intake optimal
untuk akuisisi. Mechanical drill adalah
aktivitas yang mana focus utamanya ada pada bentuk dari bahasa yang sedang
digunakan ketimbang komunikatif intensnya. Inilah contohnya : kalimat yang
diberikan “John is a student”, rubahlah kalimat ini menjadi bentuk negative
(“John isn’t a student”). Apakah orang lain tertarik dengan kenyataan bahwa
John adalah seorang atau bukan seorang murid tentunya bukanlah sebuah isu. Maka
saat mechanical drills mungkin dimengerti, mereka hanya mengerti dalam sense
penting saja. Bukti yang sesuai (Lee,McCune, and Patton, 1970) dengan tegas
menyarankan bahwa murid-murid tidak begitu memperhatikan pada pengulangan drill
setelah beberapa kali pengulangan, dan hal ini diragukan kelangsungan
kebermagnaannya yang sangat “mendalam”(in the sense of stevick, 1976).
Mechanical drills tentunya tidak alami atau juga tidak bermaksud demikian. Maka yang terbaik harus dilakukan oleh mechanical
drill adalah hanya menyesuaikan sebagian saja bagi akuisisinya. Bersama-sama
dengan percakapan bebas (kombinasi “struktur” dan “percakapan” di kelas),
mereka boleh berhasil dalam mendorong beberapa akuisisi bahasa, tetapi rasanya
ruang kelas SL bisa melakukannya dengan lebih baik lagi.
Analisa tentang apa yang diprediksi oleh intake bahwa apa
yang dikatakan drill-drill “bermagna” dan “komunikatif” atau latihan-latihan
dapat menjadi lebih efisien dalam memproduksi akuisisi bahasa. Dalam aktivitas
seperti inilah sebenarnya murid-murid bisa benar-benar berkomunikasi dimana
komunikasi dapat di stimulasi. Kesannya adalah bahwa merancang materi-materi
untuk latihan mekanik tidaklah sulit atau tidak juga sulit untuk berfikir tentang
hal-hal yang dibicarakan di dalam kelas. Penyediaan intake melalui kebermagnaan
dan kegiatan komunikatif adalah hal yang sedikit menantang. Oleh karena itu,
agar sejajar dengan intake, latihan-latihan ini harus bisa dipahami, berada pada
ltingkatan yang tepat, dan alami. Dengan mencoba mengikuti kegiatan sebagaimana
seorang guru ESL, ternyata begitu sulit untuk berfikir tertarik dengan situasi
komunikatif yang alami yang mengkontektualisasikan “susunan hari”.
Setiap presentasi pada konferensi pengajaran bahasa dan
pertemuan-pertemuan guru yang memberikan guru ide-ide kontekstual terstruktur,
sejauh itu di hadiri dengan baik dan mudah diterima maka itulah yang dimaksud
dengan demonstrasi baru mechanical drills. Interpretasi trend semacam ini
sebagai pengenalan dari fakta bahwa perkembangan akuisisi bahasa itu akan lebih
baik jika intake-nya komunikatif dan dipahami.
Bahkan kebermagnaan dan komunikatif drills bisa memilki
keterbatasan-keterbatasan, meskipun jika mereka mengatur dan mengarahkan pada
struktur selanjutnya (i+1), tidak seperti pada semua murid yang diberikan dalam
kelas, mereka bisa jadi gagal dalam menyiapkan input yang cukup atau bisa jadi
cukup alami untuk akuisisi bahasa. Mungkin generalisai yang benar adalah bahwa
jika aktifitas-aktifitas tersebut lebih
alami, menarik, dan mudah dipahami. Ketika tuntutan-tuntutan itu dipertemukan
dimana ada kesepakatan dari inputnya harus alami, mungkin bisa jadi jika i+1
akan “secara alami” tertutupi dan terulang berkali-kali, maka kelanjutan dari akuisisi
bahasa akan bisa berhasil.
Jika intake secara mendalam memiliki karakter seperti ini,
dan jika intake adalah bagian yang terpenting dalam program pengajaran bahasa,
ruangan kelas bisa saja secara nyata menjadi tempat terbaik untuk orang dewasa
memperoleh bahasa; setidaknya di atas dari level/tingkatan intermediate. Seperti
yang Wagner-Gough dan Hatch (1975) tunjukkan bahwa “Dunia Luar” tak
berkeinginan menyiapkan intake untuk orang dewasa. Anak-anak sering beruntung
memperoleh Bahasa ke duanya yang mereka dapat dari intake sebenarnya, tetapi
tidak untuk orang dewasa.
Perhatikan percakapan antara anak yang berusia 5 tahun
pemeroleh ESL dan orang dewasa berikut :
Dewasa Paul
Is that your ball? Yeah
What are you gonna
do tonight? (no
answer)
Is that your doggy? Yeah.
Is that your doggy or Jim’s doggy? Jim’s
doggy. (Huang, cited in
wagner-Gough,1975)
Dalam pertukaran ini, syarat-syarat untuk intake jelas
sekali bertemu. Responnya Paul mengindikasikan bahwa dia sangat paham, jika
tidak semua ucapan yang ditujukan padanya (ucapan terima kasih, mungkin diucapkan
pada orang dewasa dengan tegas pada prinsip “Here and Now”), ini adalah input
sederhana yang kebanyakannya seperti pada atau mendekati tingkat kebutuhan Paul
supaya lebih memperoleh bahasa Inggris, dan ini agak alami. Bandingkan hal ini
dengan input yang dihubungkan dengan kebutuhan akuisisi orang yang lebih tua.
Seperti yang Wegner-Gough dan Hatch tunjukkan, bahwa bahasa itu agak kompleks, memisahkan
jarak dan waktu dan mungkin tidak komprehensip untuk para pemeroleh seperti
Ricardo berikut, seorang anak muda usia 13 tahun pemeroleh Bahasa Inggris
sebagai bahasa ke dua:
Dewasa Ricardo
What are you gonna do tonight? Tonight? I
don’t know.
You don’t know yet? Do you work at home,
do the dishes or sweep the floor? Water
……
Flowers. Mud.
Oh. You wash the mud down and all that.
What else do you do at home? Home.
(Butterworth,1972;
cited in Wagner-Gough,1975)
Satu sumber lainnya adalah peer groupnya murid asing.
Bahasa yang saling digunakan oleh murid-murid ESL kita secara langsung boleh
jadi agak mendekati syarat-syarat untuk bertemu
intake. Komunkasi bahasa mereka lakukan satu sama lain tentunya alami dan
biasanya dimengerti, dan kehadiran peer tersebut yang sepintas lebih tinggi
kesiapannya sering kali inputnya jauh tertinggal dari pemeroleh pada tingkat
sebelumnya. Kasus ini terlihat bahwa murid asing akan saling mendapatkan
kesalahan. Mungkin hal ini bukan menjadi masalah serius, sebagaimana “kesalahan
bebas” sumber-sumber intake yang juga biasa terjadi (penutur asli baik yang di
dalam maupun yang diluar kelas). Fathman (1976) menghadirkan bukti yang
menyarankan bahwa keberadaan peer group murid asing tersebut mungkin secara
nyata menguntungkan. Dalam sebuah studi murid ESL di sekolah dasar di wilayah
Washington DC ditemukan bahwa dimana sekolah yang murid-muridnya lebih dari
empat puluh yang bukan penutur Bahasa inggris asli terlihat lebih berkembang
ketimbang di sekolah yang mana murid-muridnya hanya beberapa orang yang penutur
Bahasa Inggris asli (p.437). Mungkin ini sesuai pula dengan point Fathman faktanya
bahwa sekolah yang mempunyai banyak murid asingnya cenderung mempunyai program
organisasi sekolah yang baik pula untuk mereka. Justru murid-murid di dalam
kelompok-kelompok seperti ini bisa menjadi teman dengan murid-murid yang
berasal dari negara lain dengan berbicara bahasa Inggris (p438). Membantu
murid-murid asing untuk mengenal satu sama lain adalah sebuah aktivitas popular
di kelas ESL (V. Sferlazza, personal communicatin); mungkin secara linguistic
ini bernilai, dan mungkin seharusnya didukung untuk menjadi ilmu pendidikan.
Saran yang di sampaikan (Krashen, 1978e) berisi intake
di luar kelas yang akan menjadi sebuah
cara untuk mendorong dunia luar bekerjasama dengan profesi pengajaran bahasa
yaitu dengan menggunakan istilah :“Language learning Buttons” cara ini gunanya
untuk memperhatikan penutur-penutur asli memperoleh kebutuhan-kebutuhan bahasa:
1.
Kancing merah, menandakan bahwa siswa tersebut artinya akan menjadi siswa
pemula ESL
2.
Kancing kuning, menandakan bahwa siswa tersebut artinya akan menjadi siswa
Intermediate ESL dan seterusnya.
Kembali pada kelas, beberapa tahun terakhir ini
beberapa ide novel telah memberikan dukungan pemerolehan bahasa dengan
menyiapkan intakenya. Terrell, (1977) telah mengajukan metode yang dinamakannya
“The Natural Approach/pendekatan alamiah”, yang mana waktu kelas perlu berisi
kegiatan komunikati dengan guru yang berbicara hanya dengan bahasa targetnya.
Dan siswa-siswanya merespon baik dalam bahasa target maupun bahasa pertama
mereka. Kesalahan-kesalahan yang ada pada siswa sepenuhnya diabaikan selama
kegiatan ini, meski akan ada beberapa komunikasi yang gagal. Tugas rumah yang
pendek-pendek, latihan grammar, dll yang tentunya setiap system itu adalah
hanya berlatih dalam situasi bahasa asing, dimana sang guru itu juga adalah
seorang penutur dari salah satu bahasa tutur muridnya, dan tentunya ini
kemungkinannya akan memberikan intake dalam jumlah yang besar sekali.
Seorang sarjana USC, John Cromshaw juga telah datang
dengan sebuah inovasi yang menarik yang dinamakannya “Intercambio”. Di dalam
intercambio, seperti yang diajarkan di USC dimana orang-orang Amerika yang
belajar Bahasa Spayol sebagai bahasa asing digabungkan dengan siswa-siswa ESL
bahasa- -Spanyol dan didorong untuk berbincang dalam bermacam topic. Aturannya
adalah : berbicaralah dengan bahasamu sendiri! Cromshow melaporkan meski
sedikit keuntungan, tetapi siswa-siswa tersebut bisa saling bertukar sejumlah
informasi satu sama lain, dan seringkali tak sengaja memulai berbahasa dalam
bahasa target. Pendekatan-pendekatan semacam ini telah divalidasi hanya dalam
informal saja, tetapi laporan terkini dari keberhasilan mereka telah sedikit
meningkat keberhasilannya.
Beberapa kegiatan lain yang lebih mengenalkan profesi
juga memerlukan intake: extensive reading, seperti yang direkomendasi oleh
Newmark (1971), tentunya akan menyiapkan banyak intake daripada
paragraph-paragraph sulit yang memerlukan cryptoanalytic decoding yang
kadang-kadang menjadi tugas murid-murid ESL. Juga teknik yang digunakan sepert
milik Asher”Total Physical Response”(Asher, 1966-1969) boleh juga menyiapkan
sejumlah intake yang berguna di dalam kelas. Dalam pendekatan Asher,
murid-murid berdiam diri pada langkah awal, tetapi diminta untuk mematuhi
perintah guru dalam bahasa target, perintah tersebut meminta “a total physical
response”, dimulai dengan kalimat imperative sederhana (“sit down”), kemudian
menuju ke kalimat yang lebih kompleks. (If John runs to the blackboard, run
after him and hit with your book”). Ada bukti experiment pada buku-bukunya
Asher artinya TPR itu benar-benar melakukan kerja. Murid-murid Bahasa Asing,
setelah 32 jam pada TPR memiliki nilai pemahaman listening yang lebih baik dan
signifikan daripada siswa-siswa di kelas”Asli” setelah 150 jam, dan nilai-nilai
pada ujian-ujian selanjutnya juga sama. Jelaslah bahwa input guru yang menstimulasi
suatu total kontak fisik akan mendekati setidaknya total intake. Bisa dipahami,
pada suatu tingkatan yang tepat dan alami, tujuan ini akan menjadi komunikasi.
Sebelum meninggalkan bagan intake dari “pohon
program”, beberapa poin perlu klarifikasi.
Pada awalnya, ditekankan bahwa intake sangatlah mendasar bagi akuisisi, dan tak memperhatikan akan
apa fungsi dan peranan outputnya. Mungkin jadi sanggahan bahwa secara teori
speaking dan writing tidaklah penting untuk pemerolehan bahasa. Orang bisa
memperoleh “kompetensi” dalam sebuah bahasa kedua atau bahasa pertama tanpa
memproduksinya. Ada beberapa dukungan
argumentasi untuk hipotesa intake ini.
Seperti perhatian sebelumnya, ada beberapa studi yang
menunjukkan bahwa adanya penundaan ucapan dalam instruksi ESL, seperti ketika
listening aktif disiapkan, karena tidak ada penundaan dalamakuisisi proficiensi
dalam akuisisi ESL, dan bahkan bisa menguntungkan (untuk akuisisi anak-anak
ESL, see Gary, 1975; untuk pelajaran orang dewasa see Asher,1965,1966,1969,
Postovsky, 1977). Dan ada juga sejumlah saran informal pada akuisisi bahasa ini
dalam budaya lain, dimana listening aktif sangat ditekankan. Disini, Sorenson’s
(1967) melaporkan pada suku Indian Amerika di wilayah sungai Vaupes :
Orang Indian tidak berlatih berbicara
sebuah bahasa yang mereka belum ketahui, tetapi mereka secara pasif belajar
daftar kata-kata, bentuk, prase di dalamnya dan mengenalkan pada mereka sendiri
dengan suara ucapan bahasa tersebut…. Mereka bisa saja berusaha membuat sebuah
acara untuk berbicara bahasa baru dalam situasi yang tepat, tetapi jika hal ini
tidak bisa dengan mudah, mereka tidak akan memaksakannya.
Akhirnya, ada fakta yang cukup membangun dari
pelajaran akuisisi bahasa anak yang secara normal dan di dalam berlangsung produksinya.
Produksi, nyatanya tidak pernah perlu terjadi. Lenneberg (1962) menggambarkan
suatu kasus dari penyakit disentri pada anak usia 8 tahun yang tidak pernah
berbicara, tetapi bisa mengerti bahasa Inggris dengan baik. Lenneberg mencatat
bahwa :
Suatu kesamaan phenomena dalam banyak
bentuk yang lebih renik yang benar-benar umum. Memahami secara normal
ucapan-ucapan berbicara dengan beberapa minggu atau bulan perbedaannya akan
terus meningkat dalam berbagai bentuk perkembangan ucapan yang tak tepat dan
sangat baik diilustrasikan oleh anak kecil yang mempunyai struktur tak normal
dalam oral cavity atau pharynxnya dan yang memproduksi ucapan-ucapan yang tak
bisa dipahami bertahun-tahun-kadang-kadang seumur hidup-tanpa sedikitpun
memahami gerak tubuhnya. Anak-anak yang bisu juga belajar untuk memahami bahasa
dalam kemampuan vocal yang ada…bagaimanapun tak ada bukti jelas berbicara
pernah hadir dalam keberadaan pemahaman.
Bukan berarti bahwa berbicara tak penting untuk
dilatih, dan mungkin ini sebuah kasus bahwa berbicara mungkin secara langsung
mendorong akuisisi bahasa. Apa yang mungkin menjadi kasusnya adalah bahwa
berbicara mendukung percakapan dan mendukung pula akuisisi intakenya.
“Eavesdropping”(Schumann and Schumann, 1977) meyiapkan akuisisi dengan sejumlah
intake, tetapi percakapan nyata yang mana setidaknya si pemeroleh memiliki
setidaknya beberapa controh dari topic dan yang mana teman percakapan si
pemeroleh membuat usaha untuk membuat dirinya paham sendiri dengan menyiapkan
banyak intake.
Kita kembali pada aturan pada output dibawah :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar